Bahaya Kemapanan
Ketika
pertama kali mendengar petuah “Kemapanan adalah musuh besar
kesuksesan”, saya membutuhkan waktu untuk mencerna. Akan tetapi, apa
yang dialami seorang teman, kemudian memperjelas arti kalimat tersebut.
Laki-laki yang akan saya ceritakan ini merupakan lulusan universitas
negeri ternama. Selesai kuliah, tidak seperti sarjana baru lain yang
masih berjuang mencari pekerjaan, dia justru langsung memegang posisi
strategis dan diangkat sebagai satu-satunya staf perwakilan perusahaan
asing yang sedang merintis bisnis di Indonesia. Singkat kata ia
merupakan manager, negosiator, researcher, dan melakukan berbagai fungsi yang dibutuhkan perusahaan yang belum memiliki kantor resmi di Indonesia itu.
Untuk
memenuhi mobilitas yang tinggi, perusahaan memberinya fasilitas gaji
lumayan besar, mobil operasional, kantor, dan segala kelengkapannya.
Pendeknya, hidup sang teman dan keluarga terbilang sangat nyaman.
Suatu hari, setelah belasan tahun bekerja membangun jaringan kantor nyaris sendirian, perusahaan akhirnya memutuskan untuk membuka kantor di Indonesia. Awalnya teman saya menganggap ini sebagai berita baik, sebab kini ia tidak perlu melakukan banyak hal sendiri.
Suatu hari, setelah belasan tahun bekerja membangun jaringan kantor nyaris sendirian, perusahaan akhirnya memutuskan untuk membuka kantor di Indonesia. Awalnya teman saya menganggap ini sebagai berita baik, sebab kini ia tidak perlu melakukan banyak hal sendiri.
Namun,
ternyata keputusan tersebut justru menjadi awal kehancuran. Setelah
staf asing datang, peran sang teman berkurang.
Melihat hal ini
perusahaan juga mengurangi fasilitas yang diberikan kepadanya. Ruang
bagi si teman semakin lama semakin sempit. Beberapa waktu
menimbang-nimbang, dia kemudian mengundurkan diri dari perusahaan.
Keputusan yang mengakibatkan seluruh fasilitas kantor yang tersisa,
ditarik.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, teman saya tersadar. Selama ini dia mengira memiliki segala, ternyata tidak. Hampir seluruh fasilitas yang mempermudah hidupnya dan keluarga adalah semu. Belasan tahun bekerja, rumah, kendaraan, dan lain-lain belum mereka miliki, sebab selama ini merasa telah tercukupi fasilitas yang diberikan perusahaan. Berbagai kemudahan yang ternyata dengan amat cepat terampas ketika situasi berubah. Zona kemapanan yang nyaman, namun tak nyata. Keluarga mereka kini harus memulai segala sesuatu dari awal lagi. Dan ini sama sekali tidak mudah.
Untuk mencari pekerjaan, akan sulit menemukan perusahaan yang mampu memberi gaji sebesar yang diterimanya dulu. Persoalan lain, rata-rata perusahaan memilih wajah-wajah muda dibanding mereka yang sudah berusia di atas tiga puluh apalagi empat puluh tahun.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, teman saya tersadar. Selama ini dia mengira memiliki segala, ternyata tidak. Hampir seluruh fasilitas yang mempermudah hidupnya dan keluarga adalah semu. Belasan tahun bekerja, rumah, kendaraan, dan lain-lain belum mereka miliki, sebab selama ini merasa telah tercukupi fasilitas yang diberikan perusahaan. Berbagai kemudahan yang ternyata dengan amat cepat terampas ketika situasi berubah. Zona kemapanan yang nyaman, namun tak nyata. Keluarga mereka kini harus memulai segala sesuatu dari awal lagi. Dan ini sama sekali tidak mudah.
Untuk mencari pekerjaan, akan sulit menemukan perusahaan yang mampu memberi gaji sebesar yang diterimanya dulu. Persoalan lain, rata-rata perusahaan memilih wajah-wajah muda dibanding mereka yang sudah berusia di atas tiga puluh apalagi empat puluh tahun.
Apa
yang harus dilakukan? Apalagi kebutuhan rumah tangga, biaya pendidikan
anak-anak mustahil dihentikan. Hanya dalam hitungan bulan, sedikit
simpanan keluarga pun habis.
Pintu keluar yang akan menyelamatkan mereka sekeluarga, kemudian justru terlihat dari peluang untuk menjadi pekerja migran gelap di Amerika. Benar hanya sebagai buruh, yang di mata sebagian orang merupakan pekerjaan kasar, namun di negeri Paman Sam bisa menghasilkan pendapatan sekelas manajer di Tanah Air.
Pintu keluar yang akan menyelamatkan mereka sekeluarga, kemudian justru terlihat dari peluang untuk menjadi pekerja migran gelap di Amerika. Benar hanya sebagai buruh, yang di mata sebagian orang merupakan pekerjaan kasar, namun di negeri Paman Sam bisa menghasilkan pendapatan sekelas manajer di Tanah Air.
Dan
teman saya tak sendiri. Ada cukup banyak profesional dan manajer lain
yang tiba-tiba kehilangan pekerjaan. Terlambat menyadari bahwa mereka
tak punya apa-apa dan telah terlena kemapanan yang semu. Musibah, ujian
dari Allah. Siapa yang sanggup menjamin tidak akan menghampiri?
Saat sang teman bercerita, dengan niat berbagi pelajaran, dalam hati saya mencatat banyak hal. Betapa penting untuk tidak terbius kehidupan mapan yang selama ini mungkin dinikmati. Apalagi jika hanya pinjaman atau fasilitas terkait pekerjaan atau posisi. Di lain pihak, sikap cepat puas dengan apa yang terhampar di depan mata harus dihilangkan.
Tak ada yang abadi. Demi anak-anak yang terus tumbuh dan membutuhkan banyak dukungan orang tua, persiapan untuk menghadapi berbagai ‘skenario buruk’ yang akan merebut kehidupan nyaman dan mapan yang dinikmati harus dilakukan sedini mungkin. Sebagaimana belasan abad lalu, Rasulullah telah berpesan,
Saat sang teman bercerita, dengan niat berbagi pelajaran, dalam hati saya mencatat banyak hal. Betapa penting untuk tidak terbius kehidupan mapan yang selama ini mungkin dinikmati. Apalagi jika hanya pinjaman atau fasilitas terkait pekerjaan atau posisi. Di lain pihak, sikap cepat puas dengan apa yang terhampar di depan mata harus dihilangkan.
Tak ada yang abadi. Demi anak-anak yang terus tumbuh dan membutuhkan banyak dukungan orang tua, persiapan untuk menghadapi berbagai ‘skenario buruk’ yang akan merebut kehidupan nyaman dan mapan yang dinikmati harus dilakukan sedini mungkin. Sebagaimana belasan abad lalu, Rasulullah telah berpesan,
"Gunakanlah
(carilah keberuntungan) pada yang lima sebelum datang yang lima, yaitu
masa hidupmu sebelum datang kematianmu: masa sehatmu sebelum datang
waktu sakitmu; waktu luangmu sebelum datang masa sibukmu; masa mudamu
sebelum datang masa tuamu; dan masa kayamu sebelum jatuh miskin." (HR al-Hakim).
Oleh Asma Nadia
0 komentar:
Posting Komentar