Muslimah dan Ghibah
Islam sebagai agama yang berpegang kepada Al-Qur’an dan sunnah mengajarkan umatnya untuk saling mengasihi dan menyayangi sesama. Menutupi aib dan kekurangan saudaranya merupakan salah satu bukti kasih
dan sayang yang diajarkan Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.
Maka
ketika seseorang membeberkan aib orang lain, walaupun itu benar adanya,
ketika itulah ia menyalahi ajaran Islam yang mengharamkan ghibah
(bergunjing). Secara bahasa ghibah berarti membicarakan orang lain. Dan
secara istilah, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Saw., makna
ghibah adalah menceritakan kekurangan saudara kita di belakangnya kepada
orang lain.
Seorang sahabat bertanya: walaupun perkara itu benar wahai
Rasulullah? Rasulullah menjawab: ya, itulah ghibah, jika perkara itu
tidak benar, maka ia telah memfitnah saudaranya. Ironisnya, ghibah yang
merupakan salah satu dosa besar ini, sering kali dilakukan oleh kaum
hawa antar sesamanya. Bahkan para muslimah yang notabene orang-orang
yang mengerti agama pun sering tergelincir ke dalam hal ini.
Tidak
jarang pembicaraan mereka dibumbui dengan gosip, ngerumpi, dan
menggunjing. Hal ini, disadari atau tidak, memiliki dampak negatif yang
cukup besar. Ia dapat merusak hubungan ukhuwah serta mencerai-beraikan
ikatan kasih sayang sesama manusia. Al-Qur’an menggambarkan bahwa
perumpamaan orang yang menggunjing ibarat memakan bangkai saudaranya.
Allah SWT. berfirman:
“Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang
lain dan janganlah sebagian kalian menggunjing (ghibah) sebagian yang
lainnya. Apakah kalian suka salah seorang diantara kalian memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian membencinya. Dan
bertaqwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat
dan Maha Pengasih.” (QS. Al Hujurat: 12).
Sungguh hina perbuatan ghibah
ini jika kita merenungkan sabda Nabi Saw: ”Ketika aku mi’raj (naik ke
langit), aku melewati suatu kaum yang kuku-kukunya terbuat dari tembaga
sedang mencakar wajah-wajah dan dada-dada mereka.
Lalu aku bertanya:
“Siapakah mereka itu wahai Jibril?” Malaikat Jibril menjawab: “Mereka
adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan merusak
kehormatannya.” (H.R. Abu Dawud).
Yang dimaksud dengan ‘memakan daging-daging
manusia’ dalam hadis ini adalah berbuat ghibah (menggunjing),
sebagaimana permisalan pada surat Al Hujurat ayat: 12. Dalam hadis lain,
dari shahabat Jabir bin Abdillah ra., beliau berkata: “Suatu ketika
kami pernah bersama Rasulullah mencium bau bangkai yang busuk.
Lalu
Rasulullah bersabda: ‘Apakah kalian tahu bau apa ini? (Ketahuilah) bau
busuk ini berasal dari orang-orang yang berbuat ghibah.” (H.R. Ahmad).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya ghibah, sehingga ia
seakan demikian populer di tengah-tengah masyarakat. Diantara faktor-faktor tersebut adalah:
1 Tidak tabayun sebelumnya, artinya ketika
mendengarkan sesuatu yang jelek tentang seseorang tidak dicari tau
kebenaran berita tersebut.
2 Kemarahan seseorang terhadap saudaranya
bisa menyebabkan terjadinya ghibah, karena dengan kemarahan itu, tanpa
berfikir panjang ia gampang menyebutkan aib dan kekurangan saudaranya.
3 Hasad dan dengki jika orang lain dipuji
menyebabkan seseorang tidak bisa mengontrol lisannya. Dalam sebuah hadis
Rasulullah Saw. bersabda: “Berhati-hatilah dengan kedengkian, karena
dengki bisa memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.”
4 Tidak teliti dalam mengungkapkan sesuatu
atau menggambarkan tujuan yang dimaksud. Artinya, ketika seseorang salah
dalam menyampaikan suatu berita, maka tidak tertutup kemungkinan si
pendengar salah dalam memahami berita tersebut dan mengakibatkan salah
persepsi.
5 Berlepas diri dari suatu tuduhan dan kesalahan juga menjadi penyebab terjadinya ghibah, karena ingin membela diri.
6 Bercanda juga menjadi salah satu penyebab
terjadinya gosip dan gunjingan, kerena membuka aib orang lain dan
mencemarkan nama baik seseorang, walaupun tujuannya ingin membuat orang
lain tertawa dan senang. Walaupun tidak dapat divonis secara umum, tapi
juga tidak dapat dipungkiri bahwa ghibah banyak dilakukan oleh kaum
wanita. Perasaan marah, dengki, malu lalu menutup kesalahannya, atau
bahkan hanya untuk sekedar bercanda dan omong kosong saja, merupakan
beberapa motivasi terjadinya ghibah ini. Acara kumpul ibu-ibu tidak
jarang berubah menjadi ajang membicarakan orang lain. Contoh konkrit
yang sering kita lihat di tanah air adalah ketika ibu-ibu arisan,
bertemu di pasar, atau bahkan sedang menyuapkan anaknya di teras rumah
dan berkumpul dengan teman sebaya. Ada saja hal-hal yang dianggap
menarik untuk dibicarakan: gosip artis di televisi, tetangga yang
bertengkar, urusan suami orang, dan lain sebagainya. Tentu saja, ini
bukan berarti bahwa kaum adam tidak terjangkit ‘kegiatan ini’. Padahal,
ghibah ini jika sering dilakukan akan berdampak negatif bagi si
pelakunya, diantaranya: mengeraskan hati, mendapatkan murka dan
kemarahan Allah, sehingga azab pedih dari Allah yang akan diterimanya di
kubur dan di akhirat nanti. Adapun dampak negatif dalam masyarakat,
ghibah bisa menimbulkan perselisihan dan perpecahan, sehingga akan sulit
tercipta ketenangan dan hubungan yang harmonis ditengah-tengah
masyarakat.
Berikut ini adalah beberapa kiat yang bisa menangkal bahaya ghibah:
1 Meningkatkan ketaqwaan dengan mendekatkan
diri kapada Allah, misalnya sering bertilawah dan berzikir agar hati
menjadi lunak dan jiwa menjadi tenang.
2 Berfikir sebelum memulai pembicaraan, agar
yang keluar dari mulut adalah perkataan yang baik-baik saja, dan
mengingat bahwa semua yang kita bicarakan dan kerjakan akan dicatat oleh
malaikat Raqib dan Atid.
3 Tabayun sebelum menyampaikan berita, supaya ukhuwah tetap terjaga dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
4 Mengingatkan orang lain ketika ia
menceritakan saudaranya, agar ia tidak terjatuh kedalam lembah yang
bernama ghibah. Ada beberapa pengecualian yang disebutkan Imam Nawawi
dalam kitab Syarah Shahih Muslim dan Riyadhus Shalihin.
Beliau menyebutkan bahwa menyebut keburukan orang lain diperbolehkan untuk tujuan syara’, yaitu yang disebabkan oleh enam hal:
1 Orang yang teraniaya (mazhlum) boleh
menceritakan dan mengadukan kezaliman orang yang menzhaliminya kepada
seorang penguasa atau hakim atau kepada orang yang berwenang untuk
menegakkan amar makruf nahi munkar dan memutuskan suatu perkara dalam
rangka menuntut hak orang yang teraniaya ini. Asalkan ia bertujuan untuk
meminta bantuan dan keadilan, karena Al-Qur’an dalam surat An-Nisa ayat
148 sudah menerangkan hal ini: “Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang
diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
2 Meminta tolong untuk mencegah kemungkaran
dan mengembalikan orang yang berbuat maksiat kembali ke jalan yang
benar. Hal ini termasuk amar ma’ruf nahi munkar.
3 Meminta fatwa (istifta’) atau minta
keterangan terhadap suatu penjelasan, hal ini hanya boleh dilakukan
dengan tidak menyebutkan keburukan seseorang secara berlebihan. Sebagai
contoh kita mengambil ibrah dari kisah istri Abu sofyan yang diam-diam
mengambil uang suaminya lalu ia mengadukan kepada Rasulullah saw kalau
suaminya pelit, lalu Rasulullah saw membolehkannya asalkan tidak
berlebihan.
4 Memperingatkan kaum muslimin dari beberapa kejahatan seperti:
a. Apabila ada perawi hadis, saksi, atau
pengarang buku yang bersifat jelek atau berkelakuan tidak baik, menurut
ijma’ ulama kita boleh bahkan wajib memberitahukannya kepada kaum
muslimin. Hal ini dilakukan untuk memelihara kebersihan syariat. Ghibah
dengan tujuan seperti ini jelas diperbolehkan, bahkan diwajibkan untuk
menjaga kesucian hadis dan syariat. Apalagi hadis merupakan sumber hukum
kedua bagi kaum muslimin setelah Al-Qur’an.
b. Apabila kita melihat seseorang membeli
barang yang cacat atau membeli budak (untuk masa sekarang bisa
dianalogikan dengan mencari seorang pembantu rumah tangga) yang pencuri,
peminum khamar, dan sejenisnya, sedangkan si pembelinya tidak
mengetahui, maka kita boleh memberitahunya untuk memberi nasihat atau
mencegah kejahatan terhadap saudara kita, bukan untuk menyakiti salah
satu pihak.
c. Apabila kita melihat seorang penuntut
ilmu agama belajar kepada seseorang yang fasik atau ahli bid’ah dan kita
khawatir terhadap bahaya yang akan menimpanya. Maka kita wajib
menasehati dengan cara menjelaskan sifat dan keadaan guru tersebut
dengan tujuan hanya untuk kebaikan semata.
5. Menceritakan kepada khalayak ramai
tentang seseorang yang berbuat fasik atau ahli bid’ah seperti, peminum
minuman keras, penyita harta orang lain secara paksa, pemungut pajak
liar atau perkara-perkara bathil lainnya. Ketika menceritakan keburukan
itu kita tidak boleh menambah-nambahinya dan hanya diniatkan untuk
kebaikan.
6. Jika seseorang sudah dikenal dengan
julukan si pincang, si pendek, si bisu, si buta, atau sebagainya, maka
kita boleh memanggilnya dengan julukan-julukan itu agar orang lain
langsung mengerti,namun jika tujuannya untuk menghina, maka haram
hukumnya. Jika ia mempunyai nama lain yang lebih baik, maka lebih baik
memanggilnya dengan nama lain itu.
Wahai para muslimah! Ku persembahkan
tulisan ini agar kita bisa saling mengingatkan ketika lupa, dan
sama-sama kita berdoa kepada Allah agar lidah-lidah kita selalu terjaga
dari hal-hal yang dilarang. Untuk kaum Adam semoga juga bisa mengambil
ibrah dari tulisan ini.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar