Kamis, 14 November 2013

Di 1 Muharram

Ironi di 1 Muharram 
Peringatan 1 Muharram atau yang lebih dikenal dengan 1 Syura sudah cukup terkenal di kalangan masyarakat Indonesia. Padahal, jika merujuk sirah nabawiyah, tak akan kita dapati peringatan ini. 


Meski demikian, setahun sekali tetap saja ada sekelompok orang yang memperingatinya. Terlepas dari hukum perayaan tanggal tersebut, ada hal-hal yang sedikit mengusik hati saya sebagai seorang Muslim.
Sebagai seorang Muslim, kita memohon pertolongan dan menyatakan penghambaan diri sepenuhnya kepada Allah minimal 17 kali dalam hari. Dengan kata lain, seharusnya kita paham bahwa memang tidak ada tempat meminta tolong dan berserah diri kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Akan tetapi, yang tersuguhkan di hadapan kita adalah fenomena di mana sebagian saudara kita masih berharap kepada makhluk Allah yang sama sekali tak pantas untuk ditandingkan dengan-Nya bahkan seluruh alam dan seisinya.
Sangat ironi. Ketika kita mencoba untuk benar-benar menghambakan diri hanya kepada Sang Pencipta, Allah ‘Azza wa Jalla, ada sebagian orang yang dengan bangga berebut kotoran kerbau yang berjuluk Kiai Slamet saat diadakan kirab di seputaran Keraton Solo. Alasannya sangat tidak masuk akal bagi umat Muslim; mencari berkah dari kotoran tersebut. Memang apa yang akan dilakukan dengan kotoran tersebut? Dimakan tak enak; disimpan pasti baunya menyengat. Lantas mau diapakan? Saya heran, apa berkah yang selama ini Allah berikan berupa kesehatan badan dan kesempatan untuk hidup tak cukup hingga harus mencarinya dari kotoran kerbau yang tercecer di lintasan kirab.
Tak hanya itu, di daerah lain untuk memperingati acara 1 Syura, ada yang mengadakan acara berebut air yang katanya akan mendatangkan berkah bagi siapa saja yang bisa mendapatkan air tersebut. Hingga kadang injak-menginjak sesama pengunjung tak terelakkan. Saya tidak bisa membayangkan jika ada salah satu pengunjung yang meninggal saat peristiwa perebutan air itu berlangsung. Lantas apa yang akan dia jawab ketika kelak di akhirat Allah menanyakan perihal kematiannya. Saya juga tidak bisa membayangkan jikalau Air Zam-Zam yang ada di Arab tiba-tiba pindah ke Indonesia. Tak perlu saya jelasakan, Anda tentu tahu kelanjutan ceritanya.
Miris rasanya jika menyaksamai feomena ini. Bagaimana tidak, di negeri yang sangat marak diadakan kajian keislaman, bahkan televisi sekalipun tak mau ketinggalan menyiarkannya walau yang tersuguhkan memang belum sepenuhnya berpedoman pada tuntunan. Saya hanya berharap, semoga ke depan umat Islam sadar akan konsekunsi mereka setelah bersyahadat. Hingga tak ada lagi cerita-cerita menyesakkan seperti di atas. Pun jauh-jauh hari Allah telah memerintahkan kepada semua hamba-Nya untuk bertotalitas dalam memeluk satu-satunya agama yang Ia ridhai Islam.




0 komentar:

Posting Komentar