Ironi di 1 Muharram
Peringatan 1 Muharram atau yang lebih dikenal dengan 1 Syura sudah cukup terkenal di kalangan masyarakat Indonesia.
Padahal, jika merujuk sirah nabawiyah, tak
akan kita dapati peringatan ini.
Meski demikian, setahun sekali tetap saja ada sekelompok orang yang memperingatinya. Terlepas dari hukum perayaan tanggal tersebut, ada hal-hal yang sedikit mengusik hati saya sebagai seorang Muslim.
Meski demikian, setahun sekali tetap saja ada sekelompok orang yang memperingatinya. Terlepas dari hukum perayaan tanggal tersebut, ada hal-hal yang sedikit mengusik hati saya sebagai seorang Muslim.
Sebagai seorang Muslim, kita memohon pertolongan dan menyatakan
penghambaan diri sepenuhnya kepada Allah minimal 17
kali dalam hari. Dengan kata lain, seharusnya kita paham bahwa memang tidak ada tempat meminta tolong dan berserah diri kecuali kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Akan tetapi, yang tersuguhkan di
hadapan kita adalah fenomena di mana sebagian saudara kita masih berharap kepada
makhluk Allah yang sama sekali tak pantas untuk ditandingkan dengan-Nya bahkan
seluruh alam dan seisinya.
Sangat
ironi. Ketika kita mencoba untuk benar-benar menghambakan diri hanya kepada Sang
Pencipta, Allah ‘Azza wa Jalla, ada sebagian orang yang dengan bangga
berebut kotoran kerbau yang berjuluk Kiai Slamet saat diadakan kirab di
seputaran Keraton Solo. Alasannya sangat tidak masuk akal bagi umat Muslim;
mencari berkah dari kotoran tersebut. Memang apa yang akan dilakukan dengan
kotoran tersebut? Dimakan tak enak; disimpan pasti baunya menyengat. Lantas mau
diapakan? Saya heran, apa berkah yang selama ini Allah berikan berupa kesehatan
badan dan kesempatan untuk hidup tak cukup hingga harus mencarinya dari kotoran
kerbau yang tercecer di lintasan kirab.
Tak hanya
itu, di daerah lain untuk memperingati acara 1 Syura, ada yang mengadakan acara
berebut air yang katanya akan mendatangkan berkah bagi siapa saja yang bisa
mendapatkan air tersebut. Hingga kadang injak-menginjak sesama pengunjung tak
terelakkan. Saya tidak bisa membayangkan jika ada salah satu pengunjung yang
meninggal saat peristiwa perebutan air itu berlangsung. Lantas apa yang akan
dia jawab ketika kelak di akhirat Allah menanyakan perihal kematiannya. Saya
juga tidak bisa membayangkan jikalau Air Zam-Zam yang ada di Arab tiba-tiba
pindah ke Indonesia. Tak perlu saya jelasakan, Anda tentu tahu kelanjutan
ceritanya.
Miris
rasanya jika menyaksamai feomena ini. Bagaimana tidak, di negeri yang sangat
marak diadakan kajian keislaman, bahkan televisi sekalipun tak mau ketinggalan
menyiarkannya walau yang tersuguhkan memang belum sepenuhnya berpedoman pada
tuntunan. Saya hanya berharap, semoga ke depan umat
Islam sadar akan konsekunsi mereka setelah bersyahadat. Hingga tak ada lagi
cerita-cerita menyesakkan seperti di atas. Pun jauh-jauh hari Allah telah
memerintahkan kepada semua hamba-Nya untuk bertotalitas dalam memeluk
satu-satunya agama yang Ia ridhai Islam.
0 komentar:
Posting Komentar