Macam-macam Sikap Muslim Saat Dizalimi
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Saat seseorang dizalimi atau disakiti orang lain ada tiga macam sikap dalam meresponnya.
Pertama, membalasnya secara berlebihan.
Kedua, membalas sekadar dengan kezaliman tersebut.
Ketiga, bersabar, memaafkan dan membuat perbaikan.
Siapa yang membalas secara berlebihan
maka ia telah berbuat dosa dari sikap berlebihannya tersebut. Siapa yang
membalas sesuai dengan kadar kezaliman yang menimpanya maka ia tidak
mendapat dosa dan tidak mendapat pahala. Sedangkan siapa yang bersabar,
memaafkan, dan membuat perbaikan maka ialah yang mendapat pahala besar
di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Allah Ta'ala berfirman,
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
"Dan balasan suatu kejahatan adalah
kejahatan yang serupa, maka Barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka
pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai
orang-orang yang zalim." (QS. Al-Syura: 40)
. . . Allah menyiapkan pahala besar kepada orang yang memaafkan karena ia memperlakukan hamba dengan sesuatu yang ia suka jika Allah memperlakukan dirinya dengan hal itu. Ia suka kalau Allah memaafkan kesalahannya, karenanya ia memaafkan orang yang telah berbuat salah kepada dirinya. . .
Dalam ayat ini disebutkan tiga tingkatan dalam merespon tindak kezaliman. Yaitu adil, utama, dan zalim.
Pertama, tingkatan adil ditunjukkan oleh kalimat, "Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa."
Tindakan kejahatan dibalas dengan kejahatan serupa tidak melebihi dan
tidak menguranginya. Ini dinilai lebih adil dan memuaskan jiwa orang
yang dizalimi. Karenanya Islam menyariatkan qishahs. Yaitu membunuh
dibalas bunuh, melukai dibalas melukai yang serupa, dan selainnya. Ini
seperti firman Allah yang lain,
فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ
"Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu." (QS. Al-Baqarah: 194)
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
"Dan jika kamu memberikan balasan,
maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan
kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih
baik bagi orang-orang yang sabar." (QS. Al-Nahl: 126)
"Bahwasanya jiwa (dibalas) dengan
jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishashnya. Barang siapa yang
melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus
dosa baginya." (QS. Al-Maidah: 45)
Namun perlu diingat, siapa yang membalas kejahatan dengan yang serupa ia tidak mendapat dosa dan tidak pula mendapat pahala.
Kedua, tingkatan utama, memaafkan dan berbuat baik kepada orang yang telah berbuat buruk kepadanya. Ini ditunjukkan oleh kalimat, "Maka Barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah." Artinya, Allah akan memberikan ganjaran yang besar dan pahala yang banyak kepadanya.
Ibnu Katsir berkata: "Maksudnya: Allah
tidak akan menyia-nyiakan sikapnya itu di sisi-Nya. Tetapi Allah akan
memberikan pahala yang besar dan balasan baik yang setimpal. Disebutkan
dalam hadits shahih, "Tidaklah Allah menambah kepada hamba melalui maaf
yang ia berikan kecuali kemuliaan"." (HR. Muslim)
Allah menyiapkan pahala besar kepada
orang yang memaafkan karena ia memperlakukan hamba dengan sesuatu yang
ia suka jika Allah memperlakukan dirinya dengan hal itu. Ia suka kalau
Allah memaafkan kesalahannya, karenanya ia memaafkan orang yang telah
berbuat salah kepada dirinya. Karena balasan sesuai dengan jenis amal.
(Lihat Tafsir Al-Sa'di)
Namun di sini ada syaratnya, memaafkan
tersebut menimbulkan perbaikan. Maka jika orang yang berbuat jahat
dimaafkan ia tetap pada kejahatannya atau akan berbuat jahat kepada
selainnya atau akan lebih banyak lagi membuat kerusakan maka syariat
memerintahkan untuk menghukumnya. Orang seperti ini tidak layak mendapat
dimaafkan. Karenanya tidak disyariatkan memberikan maaf kepadanya.
. . . jika orang yang berbuat jahat dimaafkan ia tetap pada kejahatannya atau akan berbuat jahat kepada selainnya atau akan lebih banyak lagi membuat kerusakan maka syariat memerintahkan untuk menghukumnya. . .
Ketiga, tingkatan zalim disebutkan dalam firman-Nya, "Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.”
Yaitu orang yang memulai berbuat buruk kepada orang lain atau membalas
keburukan orang lain dengan yang lebih banyak daripada keburukannya.
Maka kelebihan tersebut dinilai sebagai perbuatan zalim.
Pembagian tiga tingkatan dari ayat di atas sesuai dengan tingkatan orang Islam dalam QS. Fathir: 32. Yakni Zhalimun Linafsihi (menganiaya diri sendiri), Muqtashid (pertengahan), dan Sabiqum Bil Khairat bi Idznillah (lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah).
Maka Muqtashid adalah "Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa."
Sedangkan Sabiqum Bil Khairat bi Idznillah adalah , "Maka Barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah." sementara zalimun Linafsih adalah "Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.”
Maka Allah memerintahkan berbuat adil, lalu menganjurkan berbuat yang
lebih utama, dan melarang dari berbuat zalim.
Wallahu Ta'ala A'lam.
0 komentar:
Posting Komentar