Konon, ada
seorang raja muda yang pandai. Ia memerintahkan semua mahaguru terkemuka
dalam kerajaannya untuk berkumpul dan menulis semua kebijaksanaan dunia
ini. Mereka segera mengerjakannya dan empat puluh tahun kemudian,
mereka telah menghasilkan ribuan buku berisi kebijaksanaan. Raja itu,
yang pada saat itu telah mencapai usia enam puluh tahun, berkata kepada
mereka, “Saya tidak mungkin dapat membaca ribuan buku. Ringkaslah
dasar-dasar semua kebijaksanaan itu.”
Setelah sepuluh tahun bekerja, para mahaguru itu berhasil meringkas seluruh kebijaksanaan dunia dalam seratus jilid. “Itu masih
terlalu banyak,” kata sang raja. “Saya telah berusia tujuh puluh tahun.
Peraslah semua kebijaksanaan itu ke dalam inti yang paling dasariah. Maka orang-orang bijak itu mencoba lagi dan memeras semua kebijaksanaan di dunia ini ke dalam hanya satu buku.
Tapi pada waktu itu raja berbaring di tempat tidur kematiannya. Maka
pemimpin kelompok mahaguru itu memeras lagi kebijaksanaan-kebijaksanaan
itu ke dalam hanya satu pernyataan, “Manusia hidup, lalu menderita,
kemudian mati. Satu-satunya hal yang tetap bertahan adalah cinta.”
2. Janganlah Memaksa
Seorang
kakek sedang berjalan-jalan sambil menggandeng cucunya di jalan
pinggiran pedesaan. Mereka menemukan seekor kura-kura. Anak itu
mengambilnya dan mengamat-amatinya. Kura-kura itu segera menarik kakinya
dan kepalanya masuk di bawah tempurungnya. Si anak mencoba membukanya
secara paksa.
“Cara demikian tidak pernah akan berhasil, nak!” kata kakek, “Saya akan mencoba mengajarimu.”
Mereka
pulang. Sang Kakek meletakkan kura-kura di dekat perapian. Beberapa
menit kemudian, kura-kura itu mengeluarkan kakinya dan kepalanya sedikit
demi sedikit. Ia mulai merangkak bergerak mendekati si anak.
“Janganlah
mencoba memaksa melakukan segala seuatu, nak!” nasihat kakek, “Berilah
kehangatan dan keramahan, ia akan menanggapinya.”
3. Melawan Diri Sendiri
Kemenangan
sejati bukanlah kemenangan atas orang lain. Namun, kemenangan atas diri
sendiri. Berpacu di jalur keberhasilan diri adalah pertandingan untuk
mengalahkan rasa ketakutan, keengganan, keangkuhan, dan semua beban yang
menambat diri di tempat start.
Jerih payah
untuk mengalahkan orang lain sama sekali tak berguna. Motivasi tak
semestinya lahir dari rasa iri, dengki atau dendam. Keberhasilan sejati
memberikan kebahagiaan yang sejati, yang tak mungkin diraih lewat niat
yang ternoda.
Pelari yang
berlari untuk mengalahkan pelari yang lain, akan tertinggal karena
sibuk mengintip laju lawan-lawannya. Pelari yang berlari untuk
memecahkan recordnya sendiri tak peduli apakah pelari lain akan
menyusulnya atau tidak. Tak peduli dimana dan siapa lawan-lawannya. Ia
mencurahkan seluruh perhatian demi perbaikan catatannya sendiri. Ia
bertading dengan dirinya sendiri, bukan melawan orang lain. Karenanya,
ia tak perlu bermain curang. Keinginan untuk mengalahkan orang lain
adalah awal dari kekalahan diri sendiri.
4. Kepercayaan Diri
Banyak
orang pandai menyarankan agar kita memiliki suatu kepercayaan diri yang
kuat. Pertanyaannya adalah diri yang manakah yang patut kita percayai?
Apakah panca indera kita? Padahal kejituan panca indera seringkali tak
lebih tumpul dari ujung pena yang patah. Apakah tubuh fisik kita?
Padahal sejalan dengan lajunya usia, kekuatan tubuh memuai seperti lilin
terkena panas. Ataukah pikiran kita? Padahal keunggulan pikiran tak
lebih luas dari setetes air di samudera ilmu. Atau mungkin perasaan
kita? Padahal ketajaman perasaan seringkali tak mampu menjawab persoalan
logika. Lalu diri yang manakah yang patut kita percayai? Semestinya
kita tak memecah-belah diri menjadi berkeping- keping seperti itu. Diri
adalah diri yang menyatukan semua pecahan-pecahan diri yang kita
ciptakan sendiri. Kesatuan itulah yang disebut dengan integritas. Dan
hanya sebuah kekuatan dari dalam diri yang paling dalam lah yang mampu
merengkuh menyatukan anda. Diri itulah yang patutnya anda percayai,
karena ia mampu menggenggam kekuatan fisik, keunggulan pikiran dan
kehalusan budi anda.
5. Kitalah yang menciptakan masalah
Masalah
rumah tangga memang tidak pernah habis di kupas, baik di media cetak,
radio, layar kaca, maupun di ruang-ruang konsultasi. “Dari soal
pelecehan seksual, selingkuh, istri dimadu, sampai suami yang tidak
memenuhi kebutuhan biologis istri.” Ujar seorang konsultan spiritual di
Jakarta. Kebetulan,
teman dekatnya punya masalah. Ceritanya, seiring dengan pertambahan
usia, plus karir istri yang menanjak, kehidupa perkawinannya malah
mengarah adem. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi. Keakraban dan
keceriaan yang dulu dipunya keluarga ini hilang sudah. Si istri seolah
disibukkan urusan kantor. ‘Apa yang
harus aku lakukan,” ungkapan pria ini. Konsultasi spiritual itu
menyarankan agar dia berpuasa tiga hari, dan tiap malam wajib shalat
tahajud dan sujud shalat syukur. “Coba lebih mendekatkan diri kepada
Tuhan, Insya Allah masalahanya terang. Setelah itu, kamu ajak omong
istrimu di rumah.” Ia menyarankan.
Oke. Sebuah
saran yang mudah dipenuhi. Tiga hari kemudian, dia mengontak istrinya.
“Bagaimana kalau malam ini kita makan di restoran,” katanya. Istriny
tidak keberatan. Makanan istimewa pun dipesan, sebagai penebus
kehambaran rumah tangganya.
Benar saja.
Di restoran itu, istrinya mengaku terus terang telah menduakan
cintanya. Ia punya teman laki-laki untuk mencurahkan isi hati. Suaminya
kaget. Mukanya seakan ditampar. Makanan lezat di depanya tidak di
sentuh. Mulutnya seakan terkunci, tapi hatinya bergemuruh tak sudi
menerima pengakuan dosa” itu.
Pantas saja
dia selalu beralasan capek, malas, atau tidak bergairah jika disentuh.
Pantas saja, suatu malam istrinya pura-pura tidur sembari mendekap
handphone, padahal alat itu masih menampakkan sinyal—pertanda habis
dipakai berhubungan dengan seseorang. Itu pula, yang antara lain
melahirkan kebohongan demi kebohongan.
Tanpa
diduga, keterusterangan itu telah mencabik-cabik hati pria ini.
Keterusterangan itu justru membuahkan sakit hati yang dalam. Atau
bahkan, lebih pahit dari itu. Hti pria ini seakan menuntut, “Kalau saja
aku tidak menuntut nasihatmu, tentu masalahnya tidak separah ini.”
Si
konsultan yang dituding, “Ikut menjebloskan dalam duka.” Meng-kick
balik. “Bukankah sudah saya sarankan agar mengajak istrimu ngomong di
rumah, bukan di restoran?” Buat orang awam, restoran dan rumah sekedar
tempat. Tidak lebih. Tapi, dimata si paranormal, tempat membawa
“takdir”tersendiri.
Dan itulah
yang terjadi. Keterusterangan itu tak bisa dihapus. Ia telah mencatatkan
sejarah tersendiri. Maka jalan terbaik menyikapinya adalah seperti
dikatakan orang bijak, “Jangan membiasakan diri melihat kebenaran dari
satu sisi saja.”
Kayu telah
menjadi arang. Kita tidak boleh melarikan diri dari kenyataan, sekalipun
pahit. Kepalsuan dan kebohongan tadi bisa jadi merupakan bagian dari
perilaku kita jua. “Kita selalu lupa bahwa kita bertanggung jawab penuh
atas diri kita sendiri. Kita yang menciptakan masalah, kita pula yang
harus meyelesaikannya.” Kata orang bijak.
Pahit
getir, manis asam, asin hambar, itu sebuah resiko. Memang kiat hidup itu
tak lain adalah piawai dan bijak dalam memprioritaskan pilihan.
6. Kelenturan Sikap
Bila anda
menganggap bahwa mengatasi setiap persoalan butuh kekuatan pendirian,
ketangguhan otot, dan kekerasan kemauan, maka anda separuh benar. Sebuah batu
cadas yang keras hanya bisa segera dihancurkan dengan mengerahkan
segenap daya kuat. Oleh karenanya, banyak orang melatih diri agar
semakin kuat, semakin tangguh dan semakin tegar.
Namun,
seringkali kenyataan tak bisa dihadapi dengan pendirian kuat, atau
diatasi dengan ketangguhan otot, atau dipecahkan dengan kemauan keras.
Ada banyak hal yang tak bisa anda terima, namun harus anda terima. Maka,
senantiasa anda membutuhkan sebuah kelenturan sikap. Bukanlah
kelenturan sikap pertanda kelemahan, melainkan sebuah kekuatan untuk
menghadapi segala sesuatu sebagaimana ia ada. Bila anda menganggap bahwa
mengatasi persoalan adalah dengan menerima persoalan itu, maka anda
menemukan separuh benar yang lain.
Mudah-mudahan dapat Menginspirasi kita semua dalam menjalani kehidupan ini.
0 komentar:
Posting Komentar