Kehormatan
“Saya menyangsikan kalimat plesetan
‘takkan lari jodoh dikejar’. Gunung memang tidak akan lari. Tapi jodoh?
Dia punya kaki dan keinginan, dia bisa berlari-lari kesana-kemari.
kemana dia suka. Bahkan dia bisa hilang, seperti lenyap ditelan bumi.
Atau dia jatuh ketangan orang lain”—Ahmad Fuadi
Proposal Cinta UntukNya, aku
pernah menuliskan hal itu dalam lembar sederhana ini. Hikmah akan selalu
ada dalam setiap kejadian. Bahkan ketika apapun yang terjadi membuat
kita tak sadar atau malah makin terbenam dalam jurang hawa nafsu.
Sesungguhnya itu adalah petaka yang paling menyedihkan.
Dalam awal baris di atas, aku menuliskan tentang “Proposal Cinta UntukNya”
sebuah judul tulisan yang memang menjawab kepada siapapun yang ingin
segera menyempurnakan agamanya. Penantian itu tidak hanya datang oleh
kaum hawa, namun sejatinya seorang pria yang berani menjaga
kehormatannya pun berlaku sama, hingga akhirnya segala kepasrahan akan
bersandar pada Rabb Yang Maha Membolak-balikkan hati.
Yah, perihal kehormatan yang sebenarnya
adalah sebuah nilai mutlak yang dimiliki seorang muslim. Para penjaga
kehormatan itu lebih menyibukkan dirinya untuk memperbaiki diri hingga
yang baik tentu akan mempersembahkan kebaikan kepada yang baik yang
telah dipilih dan dikehendaki olehNya.
Lantas, kini perlahan kehormatan itu
sirna dari bumi yang mayoritas muslim ini. Hal-hal yang sebetulnya
merusak kehormatan itu sendiri kini menjadi gaya hidup dan menjadi hal
wajib bagi mereka yang terlanjur cinta dunia, bahkan terkadang yakin
bahwa lima belas menit lagi masih hidup.
Sementara, mereka yang menjaga kehormatan
mengalami cerita dengan sebutan “Demonology” yang aneh dari dunia
modern. Mereka yang ikhlas menjaga kehormatannya akan dicap
konvensional, kolot, atau bahkan fundamentalis.
Wajar saja, pada negeri
yang indah ini, hanya ramai mengaggungkan kalimatNya pada awal ramadhan
saja, menjadi muslim dan mengenakan atribut muslim pada akhir ramadhan
saja, bahkan ada yang memasuki masjid tatkala pembagian hewan kurban
saja, atau bahkan hanya ketika akad nikah saja. Well, kehormatan yang
hanya tertulis di buku nikah atau identitas kartu penduduk.
Aku akan mencoba menjabarkan, bahwa
kehormatan itu tidak hanya milik wanita hingga ia menyempurnakan
agamanya. Namun, seorang pria yang menjaga kehormatannya, menyibukkan
dirinya dengan kepentingan akhirat, juga memiliki hak itu. Sebab kini,
dalam opini yang berkembang. Bahwa wanita tersudutkan oleh poin
kehormatan. Padahal, kehormatan itu juga menuntut seorang pria yang
belum menyempurnakan agamanya untuk senantiasa menjaga kehormatannya
dimata Allah.
Kini, aku ingin mengubah pola pikir bahwa
hanya wanita saja yang wajib menjaga kehormatannya. Seorang pria,
tatkala mengaku sebagai muslim, sungguh beruntung apabila mampu menjaga
kehormatannya sendiri dimata Allah. Bukankah sungguh spesial hal ini?
Menjadi nahkoda bagi dirinya sendiri, hingga tak mudah berlabuh
kesembarang pulau, padahal pulau tersebut merupakan pulau terlarang yang
belum boleh dijamah tanpa persetujuan pemiliknya.
Diibaratkan dalam lembar episode, bahwa
apa yang ada di semesta ini adalah milik Allah. Dan Allah telah
memudahkan kita untuk menikmati Alam semesta dan isinya, tentu dengan
syariatNya, aturan-aturanNya. Wahai penulis, engkau menganggap apa yang
dipikirkan dirimu bisa diterima oleh kami semuanya, ini bukan negara
islam, sehingga engkau terus saja menulis perihal-perihal islam yang
berderet rapi dalam untaian kalimat-kalimat penghakiman!
Duhai para pembaca, memang bukan negara
islam, tapi juga bukan negara setan! Konsekuensi menjadi seorang muslim
bahkan apakah seperti indahnya senja yang berganti menjadi gelap
kemudian menjemput malam pada rona rembulan yang mempesona tidak membuat
diri kita sadar? Bagaimana itu bisa terjadi dan bagaimana hingga gunung
yang meletus meletup-letup memancarkan pijaran lava yang panasnya luar
biasa? Dan korelasi ayat-ayat perihal panasnya api dunia yang tak
sebanding dengan api yang ada sesuadah kehidupan ini?
Lantas adakah dalam pikiran kita
berpikir, kenapa kita bisa mencintai, rasa suka, rasa benci, hingga rasa
berharap itu ada? Kemana kita berharap? Bahkan seseorang yang mengaku
tak berTuhan atau atheis itu sendiri akan kehilangan gelar atheisnya,
tatkala berkata “Semoga: bersemoga kepada siapa? Siapa yang akan
mengabulkan? Keberuntungan? Bagaiaman keberuntungan itu hadir? Sial?
Bukankah apa yang kita lakukan itu yang akan kita tuai?
Dan aku menganggap wajar, tatkala
beropini, bahwa orang-orang yang menjaga kehormatannya demi ridho
RabbNya, berharap, dan bersemoga kepada RabbNya, agar selalu diberikan
kebaikan pada diriNya, baik perihal rizki, kesehatan, dan juga cinta.
Sesuai dengan firmanNya, yang baik akan mendapat yang baik, dan yang
buruk akan mendapat yang buruk. Begitulah indahnya, sebuah konsekuensi,
untuk menjadi lebih baik, agar anugerah kebaikan akan datang melalui
usaha dan pinta kepada Dia, yang tidak ada sesembahan selainnya, Allah
Ta’ala.
0 komentar:
Posting Komentar