Berdzikir dengan “Tasbih” Bolehkah?
Muqoddimah
Kebanyakan orang di tempat kita
menganggap bahwa termasuk ciri khas seorang muslim yang taat kepada
Alloh adalah selalu berdzikir dengan biji tasbih di tangan. Gambaran ini
semakin kuat dengan gambar tokoh-tokoh yang dianggap berjasa bagi Islam
tampil dengan busana muslim lengkap dengan tasbihnya yang sengaja
dibuat dan dijual untuk keuntungan duniawi seperti gambar-gambar wali
songo dan lainnya, ditambah lagi tayangan sinetron religi yang sarat
dengan kebatilan, apabila menampilkan tokoh agama, hampir dipastikan ada
biji tasbih di tangannya.
Ada di antara mereka yang selalu terlihat
menjalankan tasbih di tangannya walaupun sedang mengobrol dengan
rekannya, padahal terkadang pembicaraannya bertolak belakang dengan
dzikir. Yang lebih merasa kurang puas, ada yang menggantungkan tasbihnya
di leher walaupun mulutnya tidak terlihat berdzikir,
tetapi—anehnya—orang menganggap dia selalu berdzikir (mengingat Alloh).
Sebagian lagi meyakini bahwa biji tasbih yang digantungkan di leher adalah ciri khas para malaikat yang sedang berdzikir. Ada pula yang mengatakan bahwa termasuk peninggalan (warisan) Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah biji tasbih. Ada lagi yang menjadikannya sebagai sarana pengobatan alternatif, dan masih banyak tujuan lain digunakannya biji tasbih ini dan tidak mungkin kami sampaikan semuanya.
Hal-hal di atas terjadi tidak lain karena
makin jauhnya kaum muslimin dari agamanya. Oleh karena itu, para ulama
yang cemburu akan agamanya segera bangkit menjelaskan hakikat biji
tasbih ini. Mereka menulis tentang asal-usul dan hukum tasbih dalam
agama Islam yang mulia ini (1)
. Dan tulisan ini sekadar menyadur dari tulisan mereka. Mudah-mudahan
Alloh melapangkan hati kita untuk menerima setiap kebenaran.
Sekilas Tentang Tasbih
Berdzikir menggunakan ruas-ruas jari atau
ujung-ujung jari adalah petunjuk Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
yang paling sempurna. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
memberikan petunjuk dengan cara yang paling mudah yang dapat dilakukan
siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Demikianlah yang diamalkan oleh
generasi terbaik umat ini, dan awal generasi yang setelah mereka. Lalu
orang-orang yang datang setelah mereka beranggapan bahwa berdzikir hanya
sebanyak hitungan ruas-ruas jari tidak cukup. Berdzikir dalam jumlah
yang banyak tidak dapat dilakukan melainkan harus dihitung dengan
sesuatu seperti batu kerikil atau biji-bijian, menurut mereka.
Tidak ada satu pun hadits dari Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang shohih tentang berdzikir dengan batu
kerikil atau biji-bijian. Yang ada hanyalah riwayat-riwayat hadits yang
dho’if (lemah) dan maudhu’ (palsu).
Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid Rohimahulloh menjelaskan(2)
bahwa biji tasbih tidak dikenal dalam agama Islam. Ia hanya perkara
baru dalam agama (Islam). Biji tasbih adalah alat bantu ibadahnya orang
Buddha dan menjadi ciri khusus agama mereka saat itu. Lalu biji tasbih
dipakai orang Hindu di India oleh sekte wisnu atau siwa, kemudian juga
dipakai oleh orang-orang Nasrani khususnya para pendeta dan
rahib-rahibnya, setelah itu berkembang ke sebelah barat Asia. Agama
Buddha terpecah menjadi dua aqidah (keyakinan): Mahayana dan Hinayana.
Mahayana tersebar di sebagian besar Asia utara seperti Nepal, Tibet,
Cina, Jepang, Mongol, Korea, dan lainnya. Sedangkan Hinayana banyak
tersebar di Asia Selatan seperti India bagian selatan, Bangladesh, Burma
(Myanmar), dan lainnya. Tatkala agama Nasrani muncul, barulah para
pendetanya menggunakan biji tasbih ini untuk ibadah mereka. Adapun kaum
muslimin maka tidak mengenal biji tasbih ini, kecuali orang-orang muslim
yang tidak mengetahui asal usulnya mengambil cara agama lain untuk
ibadah mereka.
Sendainya hadits-hadits tersebut dianggap sah(3)
, justru yang lebih tampak dari kisah-kisah itu menunjukkan bahwa
Rosululloh mengingkari kerikil dan biji-biji tasbih yang digunakan untuk
berdzikir dan beliau memberi petunjuk yang lebih afdhol, lebih bagus,
lebih sempurna, dan lebih mudah. Dan perkataan “lebih afdhol” atau
“lebih bagus” bukan berarti kerikil atau biji tasbih dibolehkan, tetapi
justru selain ruas-ruas jari atau ujung-ujungnya hukumnya dilarang,
sebagaimana firman Alloh:
(…. آللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ ﴿٥٩
…. Apakah Alloh yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia? (QS. an-Naml [27]: 59)
Ayat di atas menunjukkan bahwa Alloh itu
lebih bagus daripada sekutu-sekutu selain-Nya, dan bukan berarti
sekutu-sekutu itu juga bagus dan dibolehkan (untuk disembah). (Lihat
as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 11)
Makna Tasbih
“Biji tasbih” dalam bahasa Arab biasa disebut dengan istilah السُّبْحَةَ , atau مِسْبَحَةٌ , atau مَسَابِيْحُ , atau تَسَابِيْحُ , tetapi pemakaian makna ini hanya menurut kebiasaan yang berjalan saja (4).
Adapun kata السُّبْحَةَ atau التَّسْبِيْحُ dalam hadits-hadits yang shohih maknanya bukan biji tasbih melainkan sholat sunnah, sebagaimana dalam hadits Abdulloh bin Amr Rodhiyallohu ‘anhuma bahwa ayahnya mengabarinya:
أَنَّهُ رَأَى النَّبِىَّ صَلَّى السُّبْحَةَ بِاللَّيْلِ فِى السَّفَرِ عَلَى ظَهْرِ رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ
Bahwa beliau pernah melihat Nabi
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sholat sunnah pada malam hari ketika
sedang safar di atas kendaraan menghadap ke arah perjalanannya. (HR.
al-Bukhori: 1104)
Dzikir Ada Dua Macam
Berdzikir adalah salah satu bentuk ibadah yang sangat diperintahkan. Dzikir terbagi menjadi dua macam:
1. Dzikir secara mutlak, yaitu dzikir yang diperintahkan tanpa ada
ikatan waktu, tempat, atau jumlah tertentu, maka dzikir semacam ini tidak boleh (5)dilakukan dengan menentukan jumlah-jumlah yang dikhususkan seperti seribu kali dan semisalnya.
Dzikir semacam ini sebagaimana dalam firman-Nya:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ﴿٤١
Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Alloh, dzikir yang sebanyak-banyaknya. (QS. al-Ahzab [33]: 41)
Membatasi suatu ibadah yang tidak
dibatasi oleh Alloh adalah menambah syari’at Alloh. Alloh tidak mengikat
dengan jumlah tertentu dalam dzikir jenis ini merupakan kemurahan dan
kemudahan dari Alloh. Setiap hamba-Nya bebas berdzikir sesuai dengan
kemampuannya tidak terikat dengan jumlah dzikir tertentu (6).
2. Dzikir muqoyyad, yaitu dzikir-dzikir
yang dianjurkan supaya dilakukan dengan hitungan tertentu seperti ucapan
Subhanalloh 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allohu Akbar 33 kali,
dan hitungan paling banyak yang pernah dianjurkan oleh Nabi adalah 100
kali, sebagaimana Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
مَنْ
قَالَ “سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ” فِى يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ
حُطَّتْ خَطَايَاهُ، وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
“Barang siapa mengucapkan
Subhanallohi wabihamdihi setiap hari seratus kali, maka dihapus
dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR. al-Bukhori: 6042
dan Muslim: 2691)
Berdzikir Disyari’atkan untuk Menggunakan Ruas-Ruas Jari atau Ujung-Ujungnya
Adapun yang disyari’atkan dalam dzikir
muqoyyad adalah dengan menggunakan ruas-ruas jari atau ujung-ujungnya,
sebagaimana perintah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kepada
para istri dan kaum wanita dari kalangan sahabatnya. Beliau bersabda:
وَاعْقُدَنَّ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْؤُوْلَاتٌ وَمُسْتَنْطَقَاتٌ.
“Hitunglah (dzikir) itu dengan
ruas-ruas jari karena sesungguhnya (ruas-ruas jari) itu akan ditanya dan
akan dijadikan dapat berbicara (pada hari Kiamat).” (HR. Abu Dawud:
1345, dishohihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi, dihasankan oleh
an-Nawawi dan al-Hafizh, al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah: 1/186)
Makna اْلأَنَامِلُ
Adapun tentang maknaالأَنَامِلُ Qotadah berkata bahwa maksudnya adalah ujung-ujung jari. Sedangkan Ibnu Mas’ud, as-Suddiy, dan Robi’ bin Anas berkata, الأَنَامِلُ adalah jari-jemari itu sendiri (Tafsir al-Qur‘anil Azhim kar. Ibnu Katsir 2/108).
Ibnu Manzhur (Lisanul Arab 14/295) mengatakan bahwaالأَنَامِلُ adalah ruas-ruas jari yang paling atas yang ada kukunya.
Dalam al-Qomush al-Muhith: 2/955 disebutkan bahwaالأَنَامِلُ adalah ruas-ruas jari atau sendi-sendinya.
Dari keterangan di atas jelas bahwa
berdzikir disyari’atkan dengan ujung-ujung jari atau ruas-ruas jari. Dan
inilah cara yang paling mudah sesuai dengan Islam yang penuh dengan
kemudahan, sehingga kaum muslimin dari semua kalangan dapat melakukannya
tanpa menggunakan alat bantu seperti kerikil, biji-bijian,
butiran-butiran tanah liat, atau alat penghitung modern, dan semisalnya.
Sahabat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam Mengingkari Biji Tasbih
Para sahabat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka selalu melakukan
yang terbaik buat diri dan agama mereka. Oleh karena itu, tatkala
menjumpai satu penyimpangan dalam bentuk ibadah mereka segera
mengingkarinya. Dalam sebuah hadits Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘anhu
menjumpai kaum muslimin berkumpul di masjid menjadi beberapa halaqoh
berdzikir dengan biji tasbih, lalu masing-masing ketua halaqoh itu
menyuruh anggotanya supaya bertakbir 100 kali, maka mereka lakukan, lalu
mereka disuruh bertahlil 100 kali, maka mereka lakukan, lalu mereka
disuruh bertasbih 100 kali, maka mereka lakukan. Lalu Ibnu Mas’ud
mengingkari mereka dan tidak menerima alasan mereka walaupun niat mereka
baik dan sekadar menggunakan biji tasbih untuk menghitung dzikir
mereka, Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘anhu berkata:
وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ
مُحَمَّدٍ، أَوْ مُفْتَتِحُوْا بَابَ ضَلاَلَةٍ؟! قَالُوْا: وَاللَّهِ يَا
أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ! مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ، قَالَ: وَكَمْ
مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ
“Demi Zat yang diriku berada di
tangan-Nya, sungguh kalian ini sedang berada di atas agama yang lebih
bagus daripada agamanya Muhammad, atau (kalau tidak) maka kalian ini
sedang membuka pintu kesesatan.” Mereka berkata: “Wahai Abu Abdirrohman
(Ibnu Mas’ud), yang kami inginkan hanyalah kebaikan.” Ibnu Mas’ud
berkata: “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak
mendapatkannya.” (HR. ad-Darimi, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam
Silsilah Shohihah: 2005)
Hadits-Hadits Tentang Biji Tasbih Tidak Sah
Ada beberapa hadits yang dijadikan sandaran bagi mereka yang membolehkan penggunaan biji tasbih dalam berdzikir, akan tetapi semuanya tidak lepas dari kelemahan bahkan kepalsuan sehingga semuanya tidak bisa dijadikan hujjah, di antaranya;
Ada beberapa hadits yang dijadikan sandaran bagi mereka yang membolehkan penggunaan biji tasbih dalam berdzikir, akan tetapi semuanya tidak lepas dari kelemahan bahkan kepalsuan sehingga semuanya tidak bisa dijadikan hujjah, di antaranya;
1. Hadits palsu yang disandarkan pada Ali bin Abi Tholib Rodhiyallohu ‘anhu:
نِعْمَ الْمُذَكِّرُ السَّبْحَةُ وَإِنَّ أَفْضْلَ مَا يُسْجَدُ عَلَيْهِ اْلأَرْضُ وَمَا أَنْبَتَتْهُ الْأَرْضُ
“Sebaik-baik pengingat adalah biji
tasbih, dan seutama-utama tempat yang dipakai sujud adalah bumi dan yang
ditumbuhkan oleh bumi.”
Takhrij hadits:
Hadits di atas dikeluarkan oleh
ad-Dailami dalam Mukhtashor Musnad al-Firdaus: 4/98, as-Suyuthi dalam
al-Minhah Fis Subhah: 2/141 dari al-Hawi, dan dinukil oleh asy-Syaukani
dalam Nailul Author: 2/166-167.
Keterangan:
Hadits di atas adalah MAUDHU’/PALSU (7), dikarenakan beberapa sebab:
- Sanad (jalur periwayatan) hadits ini kebanyakan rowi (periwayat)nya
adalah majhul (tidak dikenal), bahkan sebagian mereka tertuduh dusta
dalam meriwayatkan hadits. (Di antara rowinya) Umul Hasan binti Ja’far
bin al-Hasan, dia tidak dikenal biografinya.
- Abdush Shomad bin Musa al-Hasyimi dikatakan oleh Imam adz-Dzahabi
dalam Mizan al-I’tidal, menukil perkataan al-Khothib al-Baghdadi
(14/41), beliau mengatakan: “Para ulama (pakar hadits) telah
melemahkannya.”
- Hadits ini secara makna juga batil karena beberapa perkara (8):
a. Biji tasbih termasuk perkara baru, tidak pernah digunakan pada zaman Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Munculnya biji tasbih ini setelah wafatnya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Hal ini dikuatkan oleh perkataan para ahli bahasa Arab yang mengatakan:
إِنَّ لَفْظَةَ السَّبْحَةِ مُوَلَّدَةٌ لاَ تَعْرِفُهَا الْعَرَبُ
“Sesungguhnya kata subhah (biji tasbih) adalah istilah baru yang tidak dikenal oleh orang Arab).”
b. Hadits di atas menyelisihi petunjuk Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang shohih dalam berdzikir.
Abdulloh bin Amr Rodhiyallohu ‘anhuma berkata: “Aku
melihat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berdzikir dengan
tangan kanannya.” (HR. Abu Dawud: 1/235, at-Tirmidzi: 4/255, Ibnu
Hibban: 2334, al-Hakim: 1/547, al-Baihaqi: 2/253, dishohihkan al-Albani
dalam Shohih Abu Dawud: 1346)
Demikian pula bertentangan dengan perintah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang shohih dalam berdzikir, beliau bersabda:
وَاعْقُدَنَّ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْؤُوْلَاتٌ وَمُسْتَنْطَقَاتٌ.
“Hitunglah (dzikir) itu dengan
ruas-ruas jari karena sesungguhnya (ruas-ruas jari) itu akan ditanya dan
akan dijadikan dapat berbicara (pada hari Kiamat).” (HR. Abu Dawud:
1345, dishohihkan al-Hakim dan adz-Dzahabi, dihasankan an-Nawawi dan
al-Hafizh, al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah: 1/186)
2. Hadits palsu yang disandarkan pada Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘anhu:
كَانَ النَّبِيُّ يُسَبِّحُ بِالْحَصَى
“Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bertasbih dengan kerikil.”
Takhrij hadits:
Hadits ini diriwayatkan oleh Abul Qosim al-Jurjani dalam Tarikh-nya: 68,
dari jalan Sholih bin Ali an-Naufali, menceritakan kepadanya Abdulloh
bin Muhammad bin Robi’ah al-Qudami, menceritakan kepadanya Ibnul Mubarok
dari Sufyan ats-Tsauri dari Samiy, dari Abu Sholih dari Abu Huroiroh
Rodhiyallohu ‘anhu terangkat (sampai) kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam.
Keterangan (9):
Hadits di atas MAUDHU’/PALSU karena Abdulloh bin Muhammad bin Robi’ah al-Qudami tertuduh dusta.
Imam adz-Dzahabi dalam Mizanul I’tidal—berkata: “Dia (al-Qudami) adalah salah satu rowi lemah, demikian dalam al-Lisan dikatakan bahwa Ibnu Adi dan ad-Daruquthni melemahkannya.”
Ibnu Hibban berkata: “Dia membalik hadits-hadits. Barangkali (kira-kira) dia telah membalik riwayat Imam Malik lebih dari 150 hadits. Dia juga meriwayatkan dari Ibrahim bin Sa’ad satu kitab yang kebanyakan (hadits)nya terbalik.”
Imam al-Hakim dan an-Naqqosy berkata: “Dia juga meriwayatkan hadits dari Malik banyak hadits yang palsu.”
Abu Nu’aim berkata: “Dia meriwayatkan hadits-hadits yang mungkar.”
3. Hadits Shofiyah bintu Huyay istri Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam (10), beliau berkata:
:دَخَلَ
عَلَيَّ رَسُوْلُ اللَّهِ وَ بَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آَلاَفِ نُوَاةٍ
أُسَبِّحُ بِهِنَّ، فَقَالَ: يَا بِنْتَ حُيَيْ، مَا هَذَا؟ قُلْتُ
أُسَبِّحُ بِهِنَّ، قَالَ: قَدْ سَبَّحْتُ مُنْذُ قُمْتُ عَلَى رَأْسِكَ أَكْثَرَ مِنْ هَذَا، قُلْتُ: عَلِّمْنِي يَا رَسُوْلَ اللَّهِ. قَالَ: قُوْلِي: سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ
“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi
wa Sallam masuk ke (rumah) saya sedangkan di hadapanku ada 4.000 biji
kurma yang kugunakan untuk bertasbih. Lalu beliau Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam bertanya: ‘Wahai Bintu Huyay, apa ini?’ Aku menjawab: ‘(Biji
kurma) ini kupakai untuk bertasbih.’ Lalu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda: ‘Sungguh aku telah bertasbih lebih banyak sejak aku
beranjak dari sisi kepalamu daripada (tasbihmu) ini.’ Aku berkata:
‘Ajari aku (yang lebih banyak dari ini) ya Rosululloh!’ Beliau bersabda: ‘Ucapkan
سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ
(Aku bertasbih sebanyak apa yang Alloh ciptakan dari segala sesuatu apa pun).’”
Takhrij hadits:
Hadits di atas dikeluarkan oleh at-Tirmidzi: 4/274, Abu Bakar asy-Syafi’i dalam al-Fawa‘id: 37/255/1, al-Hakim: 1/547, dari jalan Hasyim bin Sa’id dari Kinanah maula Shofiyah dari Shofiyah.
Keterangan:
Hadits ini DHO’IF/LEMAH (11), didho’ifkan oleh at-Tirmidzi, beliau mengatakan: “Hadits ini ghorib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalannya Hasyim bin Sa’id al-Kufi dan sanad beliau tidak dikenal.”
Ibnu Ma’in berkata tentang Hasyim al-Kufi: “Dia tidak ada apa-apanya.”
Ibnu Adiy berkata: “Apa yang diriwayatkan tidak dapat dikuatkan dengan yang lain.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Dia adalah dho’if (lemah).”
Demikian juga salah satu rowi hadits ini
bernama Kinanah, dia rowi yang majhul (tidak dikenal), tidak ada yang
menyatakan dia terpercaya kecuali Ibnu Hibban. Akan tetapi, terdapat
penguat lain meriwayatkan dari Kinanah seperti Zuhair, Hudaij (keduanya
putra Mu’awiyah), Muhammad bin Tholhah bin Mushorrif, dan Sa’dan bin
Basyir al-Juhani, empat orang tersebut semuanya terpercaya ditambah lagi
riwayat Yazid al-Bahili hanya beliau dinyatakan terpercaya oleh
beberapa ulama dan dinyatakan dho’if oleh yang lainnya. Oleh karena itu,
cacat hadits ini hanyalah pada Hasyim bin Sa’id al-Kufi yang majhul
(tidak dikenal) sehingga hadits ini dho’if, dan tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah.
Berdzikir Dengan Kedua Tangan atau Tangan Kanan Saja?
Hal ini diperselisihkan oleh para ulama.
Pendapat pertama (12)mengatakan bahwa berdzikir boleh menggunakan kedua tangannya baik kiri atau kanan. Dalilnya:
- Keumuman hadits-hadits yang menyebutkan bahwa Nabi berdzikir dengan
menggunakan “tangannya”, dan tangan mencakup tangan kanan dan kiri,
sebagaimana dalam sebuah hadits;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ يَعْقِدُ التَّسْبِيْحَ بِيَدِهِ
Dari Abdulloh bin Amr bin Ash
Rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata: “Aku pernah melihat Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menghitung dzikir dengan tangannya.” (HR.
at-Tirmidzi: 3486)
- Adapun lafazh hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shollallohu ‘Alaihi
wa Sallam berdzikir dengan menggunakan tangan kanannya, maka hadits ini
tergolong hadits syadz (ganjil) yaitu hadits yang menyelisihi riwayat
yang lebih shohih yaitu riwayat yang umum mencakup semua tangan.
Pendapat kedua (13) mengatakan bahwa berdzikir hanya dengan tangan kanan saja lebih afdhol. Dalilnya:
- Ada sebuah hadits shohih menyebutkan bahwa Nabi berdzikir dengan menggunakan tangan kanannya saja, sebagaimana hadits berikut;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ يَعْقِدُ التَّسْبِيْحَ بِيَمِيْنِهِ
Dari Abdulloh bin Amr Rodhiyallohu
‘anhuma, beliau berkata: “Aku pernah melihat Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam menghitung dzikir dengan tangan kanannya.” (HR. Abu
Dawud: 1330 dan dishohihkan oleh al-Albani (14)dalam Sislsilah Dho’ifah: 1002)
Pendapat yang Kuat
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ يَعْقِدُ التَّسْبِيْحَ بِيَمِيْنِهِ
Pendapat yang kuat insya Alloh adalah
pendapat yang kedua yaitu berdzikir hanya dengan tangan kanan saja tidak
selayaknya dengan tangan kiri, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Ibnu
Baz (Fatawa Islamiyyah hlm. 320), beliau berkata: “Sungguh telah sah
dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau menghitung
tasbihnya (dzikirnya) dengan tangan kanannya, dan barang siapa berdzikir
dengan kedua tangannya maka tidak berdosa, lantaran riwayat kebanyakan
hadits yang mutlak (mencakup tangan kedua tangan), tetapi berdzikir
dengan tangan kanan saja lebih afdhol karena mengamalkan sunnah yang sah
dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.”
Pendapat ini sejalan dengan hadits lain
yang muttafaq ’alaihi tentang menggunakan anggota badan yang kanan dalam
perkara yang terpuji, di antaranya:
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي
تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِ هِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ
Dari Aisyah Rodhiyallohu ‘anha,
beliau berkata: “Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam suka mendahulukan
bagian kanan baik dalam bersandal, bersisir, bersuci, dan setiap
urusannya.” (HR. al-Bukhori 1866 dan Muslim 268)
Adapun perkataan bahwa hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam berdzikir dengan tangan kanan saja termasuk hadits
syadz (ganjil/janggal), maka pendapat ini tidak benar karena keduanya
tidak bertentangan, justru satu dengan yang lain saling melengkapi dan
menjelaskan yang masih umum/global.
Beberapa Mafsadat Biji Tasbih
Setelah jelas bahwa biji tasbih tidak
disyari’atkan dalam berdzikir, kita juga menjumpai beberapa perkara
terjadi pada orang yang menggunakan biji tasbih, di antaranya:
- Penggunaan biji tasbih akan mengabaikan sunnah Rosul Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam yang lebih mulia dan akhirnya terjatuh kepada larangan
Alloh yang ditujukan kepada Bani Israil sebagaimana dalam firman-Nya:
…. Apakah engkau mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?…. (QS. al-Baqoroh [2]: 61)
- Menggunakan biji tasbih membuat pelakunya lalai dengan apa yang ia
ucapkan, dan kita bisa menyaksikan banyak di antara mereka yang
menggunakan biji tasbih sedangkan matanya ke sana kemari, karena mereka
sudah tahu benar jumlah dzikirnya sesuai dengan jumlah biji tasbih.
Berbeda dengan orang yang berdzikir dengan jari-jarinya, dia lebih
khusyuk, tidak lalai, dan berusaha mengetahui hitungan dzikirnya dengan
jari-jarinya(15).
- Menggunakan biji tasbih sangat dikhawatirkan menimbulkan riya‘ (niat
ingin dilihat) dan sum’ah (niat ingin didengar) di dalamnya. Kita
jumpai banyak di antara mereka mengalungkan biji tasbih yang sangat
panjang dan besar, seakan-akan jiwanya berkata kepada kepada manusia:
“Lihat wahai manusia, aku selalu berdzikir sebanyak jumlah biji tasbih
ini(16).”
- Menggunakan biji tasbih adalah ciri khusus ibadahnya orang Buddha dan Hindu, apabila kita melakukannya maka kita terjatuh pada pelanggaran terhadap larangan menyerupai mereka, sebagaimana sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa
menyerupai suatu kaum maka dia termasuk mereka.” (HR. Ahmad dan Abu
Dawud dan dihasankan oleh al-Albani dalam Misykat al-Mashobih: 4347)
Penutup
Dzikir menggunakan ruas-ruas jari atau ujung-ujung jari adalah
petunjuk Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang paling sempurna, yang
telah diamalkan oleh generasi terbaik umat ini. Dalam ibadah agama Islam
tidak pernah mengenalkan biji tasbih kepada pemeluknya. Oleh karena
itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya tidak
menggunakannya dalam ibadah. kemudian sebagian orang setelah generasi
terbaik ini, bersusah payah ingin ibadahnya lebih banyak dan lebih
mantap menurut pikiran mereka, lalu mereka meniru kebiasaan orang
Buddha, Hindu, dan para pendeta Nasrani dalam ibadahnya, dan tatkala
para sahabat mengetahui hal baru ini mereka segera mengingkarinya, untuk
menjaga kemurnian agama Islam ini, lalu selanjutnya para ulama kemudian
juga mengikuti jalan para salafush sholih dalam berdzikir dan
mengingkari hal-hal yang baru dalam agama ini.
Wallohu A’lam.
__________________________________________________
(1) Di antaranya kitab as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha kar. Dr. Bakar Abu Zaid (dan kami sarikan tulisan ini dari kitab tersebut. Demikian juga, telah difatwakan tentang masalah ini oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa: 22/506, Ibnul Qoyyim dalam Madarijus Salikin: 3/120, al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah no. 83, Fatawa Rosyid Ridho: 3/435, Lajnah Fatwa al-Azhar dalam Majalah al-Azhar jilid 21 th. 1949, Fatawa Lajnah Da‘imah KSA no. 2229, dan lainnya.
(2) Lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 43-45.
(3) Akan tetapi, semua hadits tentang biji tasbih terbukti kelemahannya bahkan kepalsuannya sebagaimana kami jelaskan dalam pokok bahasan Hadits-Hadits Tentang Biji Tasbih Tidak Sah.
(4) Lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 39. Al-Albani berkata kalimat السبحة (dengan makna biji tasbih) adalah kalimat yang baru yang tidak dikenal oleh orang-orang Arab (Silsilah Dho’ifah: 1/185).
(5) Lihat Ilmu Ushul Bida’ bab/pasal Hadyus Salaf wal Amal bin Nushushil Ammah.
(6) Lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 102-103.
(7) Sebagaimana dikatakan al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah: 1/ 184.
(8) Dinukil secara ringkas dari Silsilah Dho’ifah: 1/ 185-187.
(9) Lihat Silsilah Dho’ifah: 3/47
(10) Demikian juga, ada hadits semisal dari Sa’ad bin Abi Waqqosh tetapi dalam sanadnya ada rowi majhul (periwayat tak dikenal) bernama Khuzaimah sebagaimana dikatakan oleh Imam adz-Dzahabi dan Ibnu Hajar, demikian juga rowi lainnya bernama Sa’id bin Abi Hilal dikatakan oleh Imam Ahmad rowi yang mukhtalith, dan ditambah lagi sebagian rowi hadits tidak menyebutkan Khuzaimah tetapi langsung dari Aisyah s\ sehingga hadits ini terputus. Kesimpulannya, hadits tersebut cacat—disebabkan oleh adanya rowi majhul—atau hadits tersebut terputus.
(11) Lihat Silsilah Dho’ifah no. 83, dan as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 16-19.
(12) Seperti yang diungkapkan oleh Syaikh Dr. Bakar Abu Zaid dalam kitab La Jadida Fi Ahkamish Sholat: 52-64.
(13) Seperti yang dikatakan oleh Ibnul Jazari dalam Syarah Ibnu Allan Lil Adzkar: 1/255, Ibnu Baz dalam Fatawa Islamiyyah hlm. 320, al-Albani dalam kitabnya Silsilah Dho’ifah: 3/47, demikian juga keputusan fatwa Lajnah Da‘imah KSA dalam fatwa no. 11829 tgl. 23 Romadhon 1422 H.
(14) Demikian pula hadits ini dihasankan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar: 23, al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nata‘ij al-Afkar: 1/18.
(15) Dinukil secara bebas dari Kutub wa Rosa‘il Syaikh Ibnu Utsaimin: 1/198.
(16) Idem.
(1) Di antaranya kitab as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha kar. Dr. Bakar Abu Zaid (dan kami sarikan tulisan ini dari kitab tersebut. Demikian juga, telah difatwakan tentang masalah ini oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa: 22/506, Ibnul Qoyyim dalam Madarijus Salikin: 3/120, al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah no. 83, Fatawa Rosyid Ridho: 3/435, Lajnah Fatwa al-Azhar dalam Majalah al-Azhar jilid 21 th. 1949, Fatawa Lajnah Da‘imah KSA no. 2229, dan lainnya.
(2) Lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 43-45.
(3) Akan tetapi, semua hadits tentang biji tasbih terbukti kelemahannya bahkan kepalsuannya sebagaimana kami jelaskan dalam pokok bahasan Hadits-Hadits Tentang Biji Tasbih Tidak Sah.
(4) Lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 39. Al-Albani berkata kalimat السبحة (dengan makna biji tasbih) adalah kalimat yang baru yang tidak dikenal oleh orang-orang Arab (Silsilah Dho’ifah: 1/185).
(5) Lihat Ilmu Ushul Bida’ bab/pasal Hadyus Salaf wal Amal bin Nushushil Ammah.
(6) Lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 102-103.
(7) Sebagaimana dikatakan al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah: 1/ 184.
(8) Dinukil secara ringkas dari Silsilah Dho’ifah: 1/ 185-187.
(9) Lihat Silsilah Dho’ifah: 3/47
(10) Demikian juga, ada hadits semisal dari Sa’ad bin Abi Waqqosh tetapi dalam sanadnya ada rowi majhul (periwayat tak dikenal) bernama Khuzaimah sebagaimana dikatakan oleh Imam adz-Dzahabi dan Ibnu Hajar, demikian juga rowi lainnya bernama Sa’id bin Abi Hilal dikatakan oleh Imam Ahmad rowi yang mukhtalith, dan ditambah lagi sebagian rowi hadits tidak menyebutkan Khuzaimah tetapi langsung dari Aisyah s\ sehingga hadits ini terputus. Kesimpulannya, hadits tersebut cacat—disebabkan oleh adanya rowi majhul—atau hadits tersebut terputus.
(11) Lihat Silsilah Dho’ifah no. 83, dan as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 16-19.
(12) Seperti yang diungkapkan oleh Syaikh Dr. Bakar Abu Zaid dalam kitab La Jadida Fi Ahkamish Sholat: 52-64.
(13) Seperti yang dikatakan oleh Ibnul Jazari dalam Syarah Ibnu Allan Lil Adzkar: 1/255, Ibnu Baz dalam Fatawa Islamiyyah hlm. 320, al-Albani dalam kitabnya Silsilah Dho’ifah: 3/47, demikian juga keputusan fatwa Lajnah Da‘imah KSA dalam fatwa no. 11829 tgl. 23 Romadhon 1422 H.
(14) Demikian pula hadits ini dihasankan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar: 23, al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nata‘ij al-Afkar: 1/18.
(15) Dinukil secara bebas dari Kutub wa Rosa‘il Syaikh Ibnu Utsaimin: 1/198.
(16) Idem.
sumber: http://alfurqon.co.id (silahkan merujuk ke website tersebut untuk mengambil manfaat yang lebih banyak)
0 komentar:
Posting Komentar