Dalil Berdzikir Menggunakan Tasbih Ataupun Counter
Berdzikir adalah perintah Allah dan Rasul-Nya. Ada
banyak ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi yang memerintahkan hal itu.
Dalam Syari'at Islam, berdzikir adalah sebuah amalan yang penting dan tidak
dibatasi jumlahnya. ( Lihat Al-Qur’an, surat al-Ahzab ayat 42).
Namun demikian, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
ada juga memerintahkan berdzikir pada bilangan-bilangan tertentu. Misalnya
bertasbih 33 kali, memuji Allah 33 kali dan bertakbir 33 kali, pada setiap
selesai mengerjakan sholat 5 waktu. Ada lagi hadits shohih yang mana Nabi
menjanjikan umatnya yang berdzikir seratus kali La ilaha illallah wahdahu la
syarikalah, lahul mulku walahul wamdu yuhyi wa yumit wa huwa 'ala kulli sya-in
qadir dengan ganjaran pahala yang seperti membebaskan seratus budak. Dan
lain-lain lagi.
Dalam hadits yang lain Rasul bersabda bahwa tiap-tiap
manusia memiliki 360 ruas tulang yang tiap-tiap hari perlu disedekahi.
Maka salah satu bentuk sedekah pada ruas-ruas tulang itu adalah dengan tasbih
kepada Allah dan seterusnya sampai akhir hadits..! Dari lafadz haditsnya
terlihat bahwa salah satu bentuk amalan harian umat Islam menurut Nabi adalah
bertasbih sebanyak 360 kali tiap-tiap hari sebagai sedekah atas tiap ruas
tulangnya.
Dari sini, maka dipakailah alat penghitung dzikir
untuk memudahkan penghitungannya. Nabi memakai buku-buku jari tangan menghitung
dzikir 33 kali selesai sholat. Shahabat Nabi memakai alat-alat yang berbeda.
Sayyidatuna Ummi Salamah Radhiyallahu 'Anha memakai tasbih terbuat dari
buntalan-buntalan benang untuk menghitung amalan dzikir harian beliau yang
memang banyak jumlahnya.
Sayyidina Bilal Radhiyallahu 'Anhu memakai biji-biji batu sekarung untuk menghitung dzikir-dzikir harian beliau. Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu menggunakan biji-biji kurma untuk menghitung amal dzikir harian beliau. Adalah istri nabi yang lain, Juwairiyah atau Shofiyah sedang berdzikir di rumah beliau sambil memegang biji-biji tamar sebagai alat penghitung. Ini adalah dalil yang shohih mengenai penggunaan tasbih sebagai alat penghitung amalan dzikir yang sudah dipakai sejak zaman Rasulullah saw. (H.R. Abu Daud. Lihat kitab Badzlu Al Majhud Fi Halli Abi Dawud karangan Khalil Ahmad Shaharanfuri Jilid VII halaman 218)
Sayyidina Bilal Radhiyallahu 'Anhu memakai biji-biji batu sekarung untuk menghitung dzikir-dzikir harian beliau. Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu menggunakan biji-biji kurma untuk menghitung amal dzikir harian beliau. Adalah istri nabi yang lain, Juwairiyah atau Shofiyah sedang berdzikir di rumah beliau sambil memegang biji-biji tamar sebagai alat penghitung. Ini adalah dalil yang shohih mengenai penggunaan tasbih sebagai alat penghitung amalan dzikir yang sudah dipakai sejak zaman Rasulullah saw. (H.R. Abu Daud. Lihat kitab Badzlu Al Majhud Fi Halli Abi Dawud karangan Khalil Ahmad Shaharanfuri Jilid VII halaman 218)
Sementara Sulthan Ulama, Juned Al-Baghdadi Rahimahullahu
Ta’ala, seorang ulama sufi yang masyhur memakai tasbih dari untaian biji
kayu yang dipakai untuk mengantarkan beliau menjadi seorang wali besar. Juga
telah diriwayatkan tentang dipakainya alat penghitung amalan dzikir oleh Al
Hasan Al Bashri salah seorang tabi'in terbesar dengan riwayat yang
bersambung dari Amru Al Makki, bahwa beliau telah melihat Al Hasan Al
Bashri memegang sebuah tasbih.
Maka, Amru Al Makki bertanya: “wahai guru besar tuan telah mencapai derajat sedemikian besar dengan ibadah yang begitu baik , akan tetapi kenapa sampai sekarang tuan masih memakai tasbih? Hasan Al Bashri menjawab: “Tasbih ini telah kami pakai beribadat pada awal saat baru mulai belajar beribadah, bagaimana mungkin kami meninggalkannya setelah sampai di penghujung amal? Aku suka bila aku berdzikir pada Allah dengan hati ku, dengan lisan ku dan dengan tangan ku.
Abu Abbas berkata inilah keterangan yang nyata dari Al Hasan Al Bashri bahwa pemakaian tasbih telah dikenal di zaman Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum, karena tidak diragukan lagi bahwa di awal-awal beliau belajar mengaji adalah pada zaman para Sahabat. (Lihat kitab Badzlu Al Majhud Fi Halli Abi Dawud karangan Khalil Ahmad Shaharanfuri Jilid VII halaman 218)
Maka, Amru Al Makki bertanya: “wahai guru besar tuan telah mencapai derajat sedemikian besar dengan ibadah yang begitu baik , akan tetapi kenapa sampai sekarang tuan masih memakai tasbih? Hasan Al Bashri menjawab: “Tasbih ini telah kami pakai beribadat pada awal saat baru mulai belajar beribadah, bagaimana mungkin kami meninggalkannya setelah sampai di penghujung amal? Aku suka bila aku berdzikir pada Allah dengan hati ku, dengan lisan ku dan dengan tangan ku.
Abu Abbas berkata inilah keterangan yang nyata dari Al Hasan Al Bashri bahwa pemakaian tasbih telah dikenal di zaman Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum, karena tidak diragukan lagi bahwa di awal-awal beliau belajar mengaji adalah pada zaman para Sahabat. (Lihat kitab Badzlu Al Majhud Fi Halli Abi Dawud karangan Khalil Ahmad Shaharanfuri Jilid VII halaman 218)
Hal-hal di atas dan sejenisnya terjadi karena amalan
dzikir telah diperintah Allah untuk diamalkan oleh kaum muslimin. Dan, jumlah
dzkir pun diperintah dengan SEBANYAK-BANYAKNYA DZIKIR. Dengan demikian, jika
ada orang yang mengatakan dzikir itu mestinya sedikit saja, atau ala
kadarnya saja, dapat dipastikan orang tersebut telah menentang AL-Qur'an
yang mulia!
Kalau ada yang mengatakan: “Amal kok
dihitung-hitung….! Bagaimana bisa ikhlas jika amal dihitung-hitung?” Maka
jawab kita, bahwa menghitung amalan dzikir ini justru merupakan salah satu
perintah Nabi. Ada kalanya 33 kali, ada kalanya 100 kali, ada kalanya 360 kali,
bahkan sebanyak-banyak yang umatnya kuat mengamalkannya.
Sedangkan menetapkan amalan dzikir pada jumlah tertentu sebagai amalan harian, juga tersirat pada sabdaan Nabi kita dalam hadits yang shohih yang mengatakan; ”amalan yang terbaik itu adalah amalan yang tetap ( dalam arti tidak berubah-ubah jenis maupun jumlahnya), walau amalan itu sedikit!”
Sedangkan menetapkan amalan dzikir pada jumlah tertentu sebagai amalan harian, juga tersirat pada sabdaan Nabi kita dalam hadits yang shohih yang mengatakan; ”amalan yang terbaik itu adalah amalan yang tetap ( dalam arti tidak berubah-ubah jenis maupun jumlahnya), walau amalan itu sedikit!”
Dengan demikian, dari zaman awal Islam sampai saat
sekarang ini counter dan berbagai macam tasbih telah dipakai
untuk menghitung amalan dzikir harian, oleh banyak kaum muslimin di
dunia. Seluruh ulama pun sepakat tidak mengapa memakai alat penghitung amalan
ini atas umat Islam, apalagi alat itu dapat memudahkan umat untuk menyelesaikan
wirid-wirid mereka dengan baik.
Pada saat Rasulullah masih hidup beliau menggunakan jari-jari sebagai counter, alias alat hitung dzilir beliau. Sebagian shahabat pakai biji-bijian. Sebagian tabi'in sudah pakai tasbih. Itu semua counter, atau alat hitung saja, alias sarana ibadah. Rasulullah tidak pernah menolak sarana ibadah. Ini adalah keterangan yang pasti.....!
Pada saat Rasulullah masih hidup beliau menggunakan jari-jari sebagai counter, alias alat hitung dzilir beliau. Sebagian shahabat pakai biji-bijian. Sebagian tabi'in sudah pakai tasbih. Itu semua counter, atau alat hitung saja, alias sarana ibadah. Rasulullah tidak pernah menolak sarana ibadah. Ini adalah keterangan yang pasti.....!
Sebagai contoh dan ilustrasi, kami ingin kemukakan di
sini bahwa Rasul setiap berwudhu' pasti pakai bejana, dan mengambil air
dari bejana, atau pakai gayung. Jelasnya, sunnah Rasul dalam berwudhu' adalah
pakai bejana atau gayung (H.R. Bukhari, Muslim dll).
Sekarang ini, hampir seluruh masjid di dunia, termasuk masjidil haram sekalipun sudah memakai kran air. Dan, hampir tidak ada lagi orang berwudu' di masjid yang pakai gayung atau bejana air. Apakah berwudhu' memakai kran air berubah jadi bid'ah? Apakah mereka termasuk orang yang membuat-buat tata cara wudhu' yang baru? Tentu tidak, bukan? Bagi orang berakal yang mengerti Ushul Agama pasti bisa membedakan antara sarana ibadah dengan tata cara ibadah.
Berwudhu' pakai gayung atau bejana tidak termasuk kaifiat (tata cara wudhu'), tetapi hanya salah satu sarana yang dipakai untuk wudhu'. Begitu jua pemakaian tasbih dalam berdzikir hanyalah sebuah sarana atau alat ibadah saja, dalam hal ini untuk menghitung jumlah sebutan dzikir, bukan sebuah kaifiat (tata cara) berdikir, dan seharusnya tidak boleh dituduh sebagai sebuah perbuatan bid'ah.
Sekarang ini, hampir seluruh masjid di dunia, termasuk masjidil haram sekalipun sudah memakai kran air. Dan, hampir tidak ada lagi orang berwudu' di masjid yang pakai gayung atau bejana air. Apakah berwudhu' memakai kran air berubah jadi bid'ah? Apakah mereka termasuk orang yang membuat-buat tata cara wudhu' yang baru? Tentu tidak, bukan? Bagi orang berakal yang mengerti Ushul Agama pasti bisa membedakan antara sarana ibadah dengan tata cara ibadah.
Berwudhu' pakai gayung atau bejana tidak termasuk kaifiat (tata cara wudhu'), tetapi hanya salah satu sarana yang dipakai untuk wudhu'. Begitu jua pemakaian tasbih dalam berdzikir hanyalah sebuah sarana atau alat ibadah saja, dalam hal ini untuk menghitung jumlah sebutan dzikir, bukan sebuah kaifiat (tata cara) berdikir, dan seharusnya tidak boleh dituduh sebagai sebuah perbuatan bid'ah.
Namun demikian, sekarang ini memang ada segelintir
umat Islam yang anti terhadap alat penghitung dzikir dengan mengatakan bahwa
alat itu BID'AH. Artinya, mereka yang banyak berdzikir PASTI AKAN MASUK NERAKA
hanya karena memakai alat penghitung yang menurut mereka amalan bid'ah
itu.
Pendapat ini mulanya bertiup dari negara Saudi Arabia, hasil tulisan skripsi seorang Sarjana Muda di salah satu Perguruan Tinggi di sana, yang kemudian diterjemahkan oleh salah satu Percetakan Buku yang ada di Jakarta. Sayangnya, negara yang justru paling BANYAK MENJUAL tasbih dan berbagai alat penghitung dzikir itu adalah negara Saudi pula, khususnya di kota suci Makkah dan Madinah. Sementara ulama-ulama negara tersebut nampaknya setuju dengan pendapat ulama sedunia yang menganggap alat-alat itu tidak haram dan boleh digunakan.
Pendapat ini mulanya bertiup dari negara Saudi Arabia, hasil tulisan skripsi seorang Sarjana Muda di salah satu Perguruan Tinggi di sana, yang kemudian diterjemahkan oleh salah satu Percetakan Buku yang ada di Jakarta. Sayangnya, negara yang justru paling BANYAK MENJUAL tasbih dan berbagai alat penghitung dzikir itu adalah negara Saudi pula, khususnya di kota suci Makkah dan Madinah. Sementara ulama-ulama negara tersebut nampaknya setuju dengan pendapat ulama sedunia yang menganggap alat-alat itu tidak haram dan boleh digunakan.
Buktinya, para ulama Saudi Arabia tidak mencegah
beredarnya benda-benda yang kata segelintir mereka itu “bid'ah” di
negara kita Indonesia ini.
0 komentar:
Posting Komentar