Celaka Karena Salah Berdzikir
Ketika mendengar kata ‘dzikir’, terlintas di benak kita sosok orang
yang duduk menghadap kiblat, dengan bibir komat-kamit sambil memegang
tasbih atau menghitung ruas jari. Kata ‘dzikir’ sering dikonotasikan
sebagai ‘wirid’, alias bacaan tasbih, tahmid, takbir, tahlil, istighfar,
dan semisalnya. Sehingga majelis dzikir pun menjadi identik dengan
majelis wirid. Memang, pemahaman di atas tidak mutlak salah; namun juga
tidak sepenuhnya benar. Berikut ini beberapa hadits tentang fadhilah
dzikir dan majelis dzikir yang sering difahami secara keliru.Abu
Hurairah dan Abu Sa’id Al Khudri radhiyallaahu ‘anhuma meriwayatkan,
bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا حَفَّتْهُمْ
الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ
السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Tidaklah sekelompok orang duduk mengingat Allah, melainkan malaikat akan
mengitari mereka, rahmat melingkupi mereka, rasa tenteram menyelimuti
mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan malaikat di
sisi-Nya.
] Dalam hadits lainnya, Rasulullah bersabda yg artinya, “Sesungguhnya
Allah memiliki malaikat yang menyusuri jalan-jalan demi mencari ahli
dzikir. Bila mereka menjumpai suatu kaum yang sedang berdzikir
(mengingat Allah), mereka saling memanggil: “Ayo kesini, apa yang kamu
cari ada di sini”, kemudian mereka saling membentangkan sayapnya hingga
memenuhi langit dunia. Lalu Allah menanyai mereka padahal Dia lah yang
lebih tahu: “Apa yg diucapkan oleh hamba-hamba-Ku?”.
Kata para
malaikat:
“Mereka bertasbih, bertakbir, bertahmid, dan memuji-Mu”.
“Apakah mereka pernah melihat-Ku?” tanya Allah. “Tidak, demi Allah.
Mereka belum pernah melihat-Mu” jawab malaikat. “Bagaimana jika mereka
melihat-Ku?” tanya Allah. “Jika mereka melihat-Mu, pastilah mereka lebih
giat lagi dalam beribadah, memuji-Mu, dan menyucikan-Mu” jawab
malaikat. “Apa yang mereka minta?” tanya Allah. “Mereka menginginkan
Jannah (Surga)” jawab malaikat. “Pernahkah mereka melihatnya?” tanya
Allah. “Belum ya Allah” jawab malaikat. “Bagaimana kira-kira jika mereka
melihatnya?” tanya Allah. “Mereka pasti lebih bersemangat dan
sungguh-sungguh dalam mengejarnya” jawab malaikat. “Lalu mereka mohon
perlindungan dari apa?” tanya Allah. “Dari Neraka” jawab malaikat.
“Pernahkah mereka melihat Neraka?” tanya Allah. “Belum pernah” jawab
malaikat. “Kira-kira bagaimana jika mereka pernah melihatnya?” tanya
Allah. “Pastilah mereka semakin lari dan takut darinya” jawab malaikat.
Lalu Allah berfirman, “Saksikanlah oleh kalian, bahwa Aku telah
mengampuni mereka”. Salah seorang malaikat menyela, “Namun di antara
mereka ada si fulan yang bukan dari mereka (ahli dzikir). Ia sekedar
datang ke majelis itu untuk suatu keperluan” lanjutnya. Maka kata Allah,
“Siapa yang duduk bersama mereka (ahli dzikir) maka tidak akan celaka”.
[2]
Zhahir kedua hadits di atas seakan mendukung praktek dzikir berjama’ah
yang marak dilakukan akhir-akhir ini. Akan tetapi, cobalah kita simak
terlebih dahulu penjelasan para ulama tentang hadits-hadits di atas Al
Hafizh Badruddien Al ‘Aini mengatakan, bahwa pengertian ‘ahli dzikir’
meliputi orang-orang yang mengerjakan shalat, membaca Al Qur’an,
menyampaikan hadits, mengajarkan ilmu-ilmu agama, berdiskusi dengan para
ulama, dan semisalnya.
[3]
Dalam kitab monumentalnya yang berjudul Al Adzkar, Imam Nawawi
mengatakan, “Ketahuilah bahwa fadhilah dzikir (mengingat Allah) tak
terbatas pada tasbih, tahlil, tahmid, takbir dan semisalnya. Bahkan
setiap orang yang berbuat taat kepada Allah, berarti ingat kepada Allah.
Demikian menurut Sa’id bin Jubeir dan ulama lainnya. Sedangkan Atha’
bin Abi Rabah rahimahullah mengatakan, “Majelis dzikir adalah majelis
yang membahas tentang halal-haram, membahas bagaimana engkau
berjual-beli, berpuasa, shalat, menikah, mencerai, berhaji, dan
semisalnya”.
[4]
Adapun Ash Shan’ani mengatakan, “Dzikir bisa diartikan mengingat Allah
secara lisan. Orang yang mengucapkannya akan mendapat pahala. Dalam
dzikir tidak disyaratkan harus meresapi makna yang diucapkan, namun
syaratnya ia harus bermaksud mengingat Allah. Jika di samping berdzikir
secara lisan hatinya juga berdzikir, maka lebih sempurna lagi. Jika
setelah itu ditambah pula dengan meresapi makna bacaan dzikir yang
meliputi pengagungan terhadap Allah dan penafian sifat-sifat negatif
dari-Nya; maka lebih sempurna lagi. Lalu jika hal tersebut dilakukan
dalam amalan wajib seperti shalat, jihad, dan semisalnya; maka lebih
sempurna lagi".
[5]
Walaupun kedua hadits di atas menganjurkan kita untuk berkumpul dalam
rangka mengingat Allah, akan tetapi tidak boleh difahami sebagai anjuran
mengadakan tahlilan, shalawatan, dan dzikir jama’i. Sebab pengertian
dzikir jama’i yang marak kita saksikan akhir-akhir ini
[6], adalah sesuatu yang tidak dikenal oleh para salaf bahkan dianggap bid’ah dholalah.
Simaklah hadits berikut Salah seorang tabi’in bernama ‘Amru bin
Salamah al Hamdani mengisahkan, bahwa Abu Musa Al Asy’ari pernah berkata
kepada Ibnu Mas’ud, “Wahai Abu Abdirrahman, barusan di mesjid kulihat
sesuatu yang aneh. Akan tetapi ia sesuatu yang baik, alhamdulillah”.
“Apa itu?” tanya Ibnu Mas’ud. “Kamu bisa melihat sendiri nanti” jawab
Abu Musa. “Tadi Aku melihat orang-orang dalam beberapa halaqah
(kelompok) sedang duduk di mesjid. Sembari menunggu shalat, di
masing-masing halaqah ada satu orang yang memimpin mereka, dan
masing-masing anggotanya menggenggam kerikil. Orang tersebut lalu
berseru, “Ayo takbir seratus kali” lalu mereka mulai bertakbir. lalu
ia berkata, “Ayo tahlil seratus kali” dan mereka pun bertahlil. Kemudian
ia berkata “Ayo tasbih seratus kali” dan mereka pun bertasbih. Lanjut
Abu Musa. “Lantas apa yang kau katakan kepada mereka?” tanya Ibnu
Mas’ud. “Aku sengaja tidak mengatakan apa-apa, karena ingin tahu apa
pendapatmu” jawab Abu Musa.
“Mengapa tidak kau perintahkan agar mereka
menghitung kesalahan mereka, dan kau jamin bahwa kebaikan mereka takkan
hilang?” tegur Ibnu Mas’ud. Keduanya pun berlalu meneruskan perjalanan,
dan kami mengikuti mereka sampai tiba di salah satu halaqah yang
dimaksud. Sambil berdiri di hadapan mereka, Ibnu Mas’ud bertanya: “Apa
yang sedang kalian lakukan?” “Wahai Abu Abdirrahman, ini adalah kerikil
yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil, dan tasbih” jawab
mereka. “Hitung saja kesalahan kalian, karena kujamin tidak akan ada
kebaikan kalian yang hilang sedikitpun Celakalah kalian wahai umat
Muhammad ! Alangkah cepatnya kalian binasa, padahal para sahabat
Rasulullah ada di mana-mana, pakaian Rasulullah belum lusuh, dan bejana
beliau belum pecah?! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya;
kemungkinannya hanya dua:
kalian berada di atas ajaran yang lebih benar dari ajaran Muhammad,
atau kalian pembuka pintu kesesatan !” lanjut Ibnu Mas’ud. “Wahai Abu
Abdirrahman, Demi Allah, kami hanya mencari kebaikan” jawab mereka.
“Berapa banyak pencari kebaikan yang tidak pernah mendapatkannya” tukas
Ibnu Mas’ud. “Rasulullah pernah bercerita kepada kami bahwa ada suatu
kaum yang gemar membaca Al Qur’an namun tidak melebihi tulang selangka
mereka. Demi Allah, boleh jadi mayoritas dari mereka adalah kalian”
lanjut Ibnu Mas’ud seraya meninggalkan mereka. ‘Amru bin Salamah -perawi
kisah ini- lantas berkata, “Sungguh, aku melihat kebanyakan dari mereka
akhirnya bersama kaum khawarij melawan kami di perang Nahrawan”.
[7]
Dari hadits di atas, jelaslah bahwa mengadakan majelis dzikir seperti
yang sering kita lihat di televisi adalah bid’ah dholalah menurut Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Sikap beliau tadi juga dibenarkan oleh
sahabat lainnya, yaitu Abu Musa Al Asy’ari. walaupun sepintas mereka
sekedar membaca takbir, tahlil, tasbih, dan semisalnya dan semuanya
adalah ucapan mulia, akan tetapi tata cara yang mereka lakukan tadi
sama sekali tidak dikenal oleh para sahabat. Alasan mereka yang ‘sekedar
menghendaki kebaikan’ juga ditolak mentah-mentah oleh Ibnu Mas’ud,
sebab untuk mendapat kebaikan kita tidak boleh menghalalkan segala cara,
namun harus bertolak dari Rasulullah dan praktek para sahabat.
Hadits
ini mengingatkan kita akan bahaya bid’ah yang sepintas nampak ringan namun lama kelamaan menyeret pelakunya ke bid’ah lain yang lebih parah.
Mereka yang mulanya ‘hanya’ senang ‘tahlilan’, ujung-ujungnya menjadi
khawarij yang memerangi kaum muslimin! Demikianlah tipu daya syaithan
terhadap ahli ibadah yang ikhlas namun jahil Dalam beribadah,
keikhlasan tidaklah cukup, namun harus dilakukan sesuai tuntunan
Rasulullah. Bacaan tasbih, tahlil, takbir, dan tahmid yang demikian
besar pahalanya di sisi Allah, bisa menjadi bencana bagi pelakunya jika
diamalkan tanpa mengikuti ‘aturan main’. Melakukan dzikir secara koor
adalah bid’ah. Mengangkat suara dalam dzikir juga salah
[8].
Membaca lafazh tertentu yang diulang-ulang dalam jumlah tertentu tanpa
dalil, adalah perbuatan yang menyelisihi Sunnah.
Maka dari itu,
waspadalah !!
[1] HR. Muslim no 2700.
[2] HR. Bukhari no 6045, dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[3]
Lihat: ‘Umdatul Qaari 33/165. Pendapat beliau ini didukung oleh Al
Qur’an yang menggunakan istilah ‘ahli dzikir’ ketika berbicara tentang
orang yang berilmu. Lihat: QS An Nahl: 43 dan Al Anbiya’: 7.
[4] Al-Adzkar hal 38.
[5] Lihat: Subulus Salam 4/214.
[6]
Yaitu dengan berkumpul di suatu tempat, lalu membaca tasbih, tahmid,
takbir, tahlil, dan sebagainya secara serempak atas komando seorang
ustadz/kyai. Seperti majelis dzikir Sdr. M. Arifin Ilham dan semisalnya.
[7] HR. Darimi no 211 dengan sanad yang hasan (lihat: Silsilah Ash Shahihah no 2005).
[8]
Lihat QS. Al A’raf: 55 & 205. Ini merupakan adab dzikir secara
umum, kecuali pada saat talbiyah dan takbir hari raya, maka bagi
laki-laki disunnahkan untuk menjahr-kan suaranya, sedangkan wanita tetap
mengucapkannya dengan sirr. Demikian pula saat membaca wirid selepas
shalat 5 waktu, maka ada sebagian ulama yang menganggapnya sunnah untuk
dijahr-kan tanpa koor (bagi laki-laki), karena mengamalkan zhahir hadits
Ibnu Abbas terkait masalah ini. Namun ada pula yg berpendapat
sebaliknya. Ala kulli haal, kasus terakhir ini termasuk masalah
ijtihadiyyah yang harus kita sikapi secara ilmiah dan toleran.
wallahu a’lam
basweidan
wallahu a’lam
basweidan
0 komentar:
Posting Komentar