Gila Hormat dan Hidup yang Terhormat
Saya pernah mengenal seseorang yang mana saya agak kurang suka dengan
sikapnya. Setiap kali berpapasan dia tidak mau menyapa atau
menoleh, harus orang lain yang menyapa terlebih dahulu barulah dia
menoleh. Awalnya saya kira karena dia tidak melihat saya saja, tetapi
selalu begitu setiap ketemu.
Rupanya dia dulu bekas tentara yang mungkin
punya jabatan dan punya anak buah yang selalu siap memberikan hormat
setiap berpapasan. Sayangnya setelah pensiun dan tidak punya anak buah
lagi, sikap meminta hormat itu tetap ditunjukkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Post power syndrom lah, itu istilah yang tepat.
Dulu juga pernah ada orang lain yang punya perilaku mirip. Karena
pernah menjadi kepala di sebuah instansi, maka dia merasa bawahannya
harus selalu hormat kepadanya. Sayangnya dalam kehidupan sehari-hari
sikap itu terbawa-bawa, dan setelah pensiun, sikap itu masih melekat
dalam dirinya. Orang lain harus menyapanya terlebih dahulu, kalau tidak
maka dia tidak akan menoleh.
Saya teringat kata-kata Buya Hamka di dalam bukunya yang berjudul Tasauf Modern.
Kata Hamka, gila hormat itu tidak boleh, tetapi menjadi orang yang
terhormat haruslah jadi tujuan hidup. Tentu tidak ada orang yang ingin
menjadi orang hina dina, dilecehkan, direndahkan, atau tidak dihargai di
dunia ini. Saya yakin semua orang ingin dihormati, tetapi jangan sampai
minta hormat. Kalau minta hormat, itu gila hormat namanya.
Di kampus saya ada dosen yang patenteng-patenteng. Peraturan di
kampus kami, setiap orang yang masuk membawa kendaraan selalu ditanyakan
kartu identitas pegawainya oleh Bapak Satpam. Suatu hari dosen tersebut
tidak membawa kartu identitas pegawai (KIP) sehingga Pak Satpam tidak
membolehkan mobilnya masuk. Karena kesal, dosen tersebut marah-marah
lalu berkata: “Bapak tahu tidak, saya ini dosen!”. Pak satpam hanya
diam.
Menurut saya, kalau dosen memangnya kenapa? Minta diistimewakan?
Minta dihormati karena merasa dirinya lebih tinggi kedudukannya dari Pak
Satpam? Pak Satpam hanya menjalankan prosedur, kita harus menghormati
tugasnya itu.
Padahal, kalau dibicarakan baik-baik dan tidak emosi,
pasti Pak Satpam mengerti dan mengizinkan masuk. Tetapi, karena ucapan
yang terkesan menunjukkan kepongahan itu, dimata saya jatuhlah dosen itu
dalam pandangan yang lebih rendah dari Pak Satpam.
Saya pernah membaca ada menteri yang marah-marah di pesawat karena
tempat duduknya diisi oleh orang lain. Menteri itu ngotot harus terbang
pada jam tersebut. Setelah diteliti boarding pass-nya ternyata
jadwal penerbangannya seharusnya pada jam berikutnya. Namun, karena
merasa dirinya orang penting, dia menunjukkan perilaku yang sama sekali
tidak intelek. Di era media sosial seperti ini, sikap menteri yang
arogan dan gila hormat itu menyebar dengan cepat dan menuai kecaman
dimata publik.
Banyak lagi kasus pejabat yang berperilaku arogan seperti kisah di
atas. Ada jaksa yang marah-marah karena ingin didahului antri di pom
bensin, ada anggota parlemen yang menampar pramugari, dan lain-lain.
Penyebabnya karena mereka merasa kedudukannya lebih tinggi sehingga
harus dihormati.
Kebanyakan pejabat di negara kita berkelakuan seperti bos. Mereka
ingin selalu dilayani. Kalau datang berkunjung ke daerah mereka
diperlakukan bak raja: karpet merah dibentangkan, disambut dengan payung
keebsaran, dikalungi bunga rampai, disiapkan mobil jemputan mewah,
dikawal selama mobilnya melintas di jalanan, orang lain harus minggir.
Sudah menjadi budaya turun temurun seperti itu.
Padahal sebagai pejabat
atau abdi masyarakat, mereka seharusnya melayani, bukan dilayani. Mereka
seharusnya merasakan susah senang hidup rakyat kecil, merasakan
penderitaan masyarakatnya, bukan malah hidup bersenang-senang di tengah
tangis kesedihan rakyatnya.
Kembali ke masalah hormat tadi. Kehormatan itu tidak untuk diminta,
tetapi rasa hormat itu muncul dengan sendirinya karena budi yang mulia.
Kehormatan itu bukan karena pangkat atau jabatan yang tinggi, kedudukan
yang hebat, atau uang/harta yang banyak, tetapi kehormatan itu diperoleh
karena akhlak yang terpuji. Apalah artinya punya jabatan tinggi tetapi
angkuh dan arogan.
Apalah artinya punya harta yang banyak tetapi
pelit/kikir. Apalah artinya punya karir yang hebat tetapi korupsi.
Orang akan hormat kepada kita karena kita selalu berlaku jujur,
berdedikasi, dan tidak melakukan perbuatan yang tercela. Makanya,
menjadi orang yang terhormat karena memiliki budi yang mulia haruslah
menjadi tujuan hidup kita.
0 komentar:
Posting Komentar