Bahaya Pandangan Materialistis Bagi Kehidupan Rumah Tangga Muslim
Pandangan Materialistis Terhadap Dunia
Pandangan materialistis saat ini, banyak menerpa kehidupan manusia. Bahkan sebagian kaum muslimin ada yang juga terpengaruh dengan kehidupan yang melalaikan ini. Yaitu mengedepankan cara pandang tentang kehidupan yang hanya terbatas pada usaha untuk mendapatkan kenikmatan sesaat di dunia fana ini, sehingga aktifitas hidup yang dijalankan hanya berkisar pada masalah bagaimana bisa menciptakan lapangan pekerjaan, mengembangkan ekonomi, membangun rumah dan gedung, memenuhi kepuasan hidup dan hal-hal lain yang bersifat duniawi, tanpa memikirkan akibat dan sikap yang seharusnya dilakukan. Seolah menganggap, bahwa kebahagiaan hidup hanya bisa diraih dengan harta. Alhasil, pandangan materialistis ini mengusik keharmonisan dan ketenangan rumah tangga seorang muslim. Melalaikan tujuan inti penciptaannya, penghambaan diri kepada Allah semata dalam setiap aspek kehidupannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ مَآأُرِيدُ
مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَآأُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللهَ هُوَ
الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki
rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi
Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai
Kekuatan lagi Sangat Kokoh”. [Adz Dzariyat/51 : 56-58]
Sebagai efeknya, tak jarang wanita juga
ikut bekerja membanting tulang, mengerahkan segala cara untuk
mendapatkan harta yang banyak. Dalam benaknya, yang berkembang hanya
bagaimana bisa menguasai dunia dengan harta berlimpah, seolah
kebahagiaan dan ketenangan bergantung dengan harta; padahal Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Abu Dzar. Apakah engkau
menyangka karena banyak harta orang menjadi kaya?” Saya (Abu Dzar)
menjawab : “Ya, wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Dan engkau
menyangka, karena harta sedikit orang menjadi miskin?” Saya (Abu Dzar)
berkata: “Ya, wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Sesungguhnya kekayaan
adalah kecukupan dalam hati, dan kemiskinan adalah miskin hati”. [1]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
خَسِرَ الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
“Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata”. [Al Hajj/22 : 11]
Allah menciptakan dunia tidak untuk
main-main atau sendau gurau, tetapi Allah menciptakannya untuk suatu
hikmah yang agung, sebagaimana firman Allah.
إِنَّا جَعَلْنَا مَاعَلَى اْلأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa
yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya agar Kami menguji mereka
siapakah diantara mereka yang terbaik perbuatannya”. [Al Kahf/18 :7].
Allah menciptakan dunia tidak lain
ialah sebagai ladang kampung akhirat dan kampung untuk beramal.
Sedangkan akhirat sebagai kampung menuai balasan. Barangsiapa mengisi
dunia dengan amal shalih, niscaya ia akan menuai keberuntungan di dua
kampung tersebut. Sebaliknya, barangsiapa yang menyia-nyiakan dunianya,
niscaya ia akan kehilangan akhiratnya.
Pandangan Yang Salah Terhadap Dunia
Allah menjadikan berbagai kenikmatan dunia dan perhiasan lahiriah berupa harta, anak-anak, isteri, kedudukan, kekuasaan dan berbagai macam kenikmatan lainnya, yang seharusnya digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat kelak. Dari Tsauban, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَانًا ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِينُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الْآخِرَةِ
“Hendaklah di antara kalian memiliki
hati yang bersyukur, lisan yang berdzikir dan isteri yang shalihah yang
membantu dalam urusan akhirat”[2]
Pada kenyataannya, sebagian besar
manusia memusatkan perhatiannya pada aspek lahiriah dan kenikmatan
materi semata. Setiap hari disibukkan dengan bekerja untuk mendapatkan
harta dan kenikmatan dunia, sehingga lupa menyiapkan bekal untuk amal
kehidupan sesudah mati; bahkan ada yang mengingkari kehidupan lain
setelah kehidupan di dunia ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَقَالُوا إِنْ هِيَ إِلاَّ حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَانَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ
“Dan tentu mereka akan mengatakan
(pula) “Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita
sekali-kali tidak akan dibangkitkan”. [Al-An’am/6 : 29].
Allah mengancam orang-orang yang memiliki pandangan kerdil terhadap dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ
أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَيُبْخَسُونَ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ
لَيْسَ لَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ إِلاَّ النَّارَ وَحَبِطَ مَاصَنَعُوا
فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan
dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan
pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak
dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali
neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di
dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. [Hud/11 : 15-16].
Ancaman Allah Terhadap Orang-Orang Materialistis
Dampak ancaman di atas berlaku bagi semua
orang yang memiliki pandangan materialis, yaitu mereka yang beramal
hanya sekedar mencari keuntungan dunia, misalnya: orang-orang munafik,
orang-orang kafir, orang-orang yang menganut faham kapitalisme,
komunisme dan sekulerisme. Allah akan menjadikan kehidupan ini terasa
sempit bagi mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ
وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا
إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ وَمَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ
اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ
الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
“Barangsiapa yang menjadikan dunianya
sebagai tujuan utamanya, maka Allah akan membuat perkaranya berantakan,
kemiskinan berada di depan kedua matanya dan dunia tidaklah datang,
kecuali yang telah ditentukan baginya saja. Dan barangsiapa yang
menjadikan akhirat (sebagai) niatnya, niscaya Allah akan memudahkan
urusannya dan menjadikan rasa kecukupan tertanam dalam dalam hatinya dan
dunia akan datang dengan sendirinya”. [3]
Pandangan Yang Benar Terhadap Dunia
Dunia bukanlah segala-galanya, akan
mengalami kehancuran. Ia hanya jembatan penyeberangan belaka. Segala
prasarana dan sarana yang Allah adakan di dunia ini, harta, kekuasaan
dan lain-lain, semestinya dioptimalkan sebesar-besarnya untuk
kepentingan yang lebih besar, meraih kehidupan akhirat yang paling baik.
Karena itu, pada hakikatnya dunia tidak
tercela dzatnya. Pujian atau celaan tergantung pada tindak-tanduk
seorang hamba dalam menjalani siklus kehidupannya di dunia. Sekali lagi,
dunia, kehidupannya bersifat maya.
Kehidupan yang baik yang diperoleh
penduduk surga, tidak lain karena kebaikan dan amal shalih yang telah
mereka tanam ketika di dunia. Maka dunia adalah kampung jihad, shalat,
puasa dan infak di jalan Allah, serta medan untuk berlomba dalam
kebaikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada penduduk surga,
artinya :
كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَآأَسْلَفْتُمْ فِي اْلأَيَّامِ الْخَالِيَةِ
“(Kepada mereka dikatakan) “Makan dan
minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada
hari-hari yang telah lalu (ketika di dunia)”. [Al-Haqqah/69 : 24].
Selayaknya kita bersiap diri
meninggalkan kampung dunia menuju kampung akhirat dengan selalu menambah
simpanan amal kebaikan dan bersegera memenuhi panggilan Allah.
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu
berkata: “Sesungguhnya dunia telah habis berlalu dan akhirat semakin
mendekat. Dan masing-masing mempunyai anak keturunan. Jadilah kalian
anak keturunan akhirat dan jangan menjadi anak keturunan dunia, karena
sekarang kesempatan beramal tanpa ada hisab (peratnggungjawaban) dan
besok di akhirat masa perhitungan amalan dan tidak ada kesempatan
beramal”. Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan:
“Halalnya adalah dipertanggungjawabkan, dan haramnya adalah neraka”.
Wahai saudaraku kaum muslimin, ingatlah
terhadap empat hal : Aku tahu bahwa rezekiku tidak akan dimakan orang
lain, maka tenteramlah jiwaku. Aku tahu bahwa amalku tidak akan
dilakukan orang lain, maka akupun disibukkannya. Aku tahu bahwa kematian
akan datang tiba-tiba, maka segera aku menyiapkannya. Dan aku tahu
bahwa diriku tidak akan lepas dari pantauan Allah, maka aku akan merasa
malu kepadaNya. [4]
Orang yang mengosongkan hatinya dari
keinginan dunia akan merasa ringan tanpa beban, total menyongsong Allah
dan mempersiapkan diri untuk datangnya perjalanan. Mengosongkan hati
untuk dunia yang fana bukan berarti meninggalkan dunia kerja, enggan
mencari kehidupan dunia dan tidak mencoba berusaha. Islam sendiri
memerintahkan untuk bekerja dan menganggapnya sebagai satu jenis jihad,
bila dengan niat yang tulus dan memenuhi syarat amanah dan ikhlas, serta
tidak melanggar syariat. (Ummu Ahmad).
Maraji’:
– Kitab Tauhid III, Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan.
– Islahul Qulub, karya Syaikh Abdul Hadi Wahbi.
– Faraidul Kalam Lil Khulafail Kiram, karya Syaikh Qasim ‘Asyur.
– Ad Dunya Dhillul Zailun, Abdul Malik bin Muhammad Al Qasim.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
04/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-761016]
_______
Footnote
_______
Footnote
[1]. HR Hakim dan Ibnu Hibban
[2]. HR Ahmad dan Ibnu Majah
[3]. Hadits Ibnu Majah dengan sanad yang shahih
[4]. Lihat Manaqib Al Imam Ahmad, Ibnu Jauzi, Maktabah Al Hany, Bab As Siaru, Vol. 11, hlm. 485 dan Wafayat Al A’yan, Op.Cit, Vol. 2, hlm. 27
[2]. HR Ahmad dan Ibnu Majah
[3]. Hadits Ibnu Majah dengan sanad yang shahih
[4]. Lihat Manaqib Al Imam Ahmad, Ibnu Jauzi, Maktabah Al Hany, Bab As Siaru, Vol. 11, hlm. 485 dan Wafayat Al A’yan, Op.Cit, Vol. 2, hlm. 27
sumber: http://www.almanhaj.or.id
0 komentar:
Posting Komentar