Rabu, 11 Desember 2013

Tak Pernah Tahu


Aku Tak Pernah Tahu  
 
Ayah baru saja meninggal dunia. Beliau adalah seorang anak yatim darikeluarga miskin, yang harus rela meninggalkan sekolah di saat masihkelas dua SMP, hanya karena tak memiliki seragam sekolah. Selama ini beliau harus bekerja di dua tempat sekaligus, siang dan malam, hingga ia memasuki masa pensiun. Bahkan di saat pensiun pun beliau masih harus melakukan satu pekerjaan. Tetapi, tetap saja tak ada cukup uang untuk menghidupi keluarga kecil kami ini. Aku menyadari bahwa selama ini kami hampir selalu tak memiliki uang bahkan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan pokok kami.

Ketika aku menjadi orang tua tunggal yang harus mengasuh seorang anak,aku memutuskan untuk meneruskan akademiku. Harapanku, kelak aku bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupku ketika tunjangan dari mantan suamiku terhenti. Selama tahun 1973 sampai 1980, kami hidup dengan tunjangan USD 500,0 per bulannya. Seringkali aku merasa heran, bagaimana aku dan anakku bisa tetap melewati masa-masa sulit itu.

Di saat sulit seperti ini, maka setiap pengeluaran yang tak terdugatentu jadi sesuatu yang menakutkan. Orang tuaku tak bisa banyak membantu. Usiaku saat itu menginjak 28 tahun. Seringkali kendaraan tuaku mogok dan harus masuk bengkel, atau mesin ketikku rusak dan harus diperbaiki. Padahal aku membutuhkan keduanya untuk bisa segera lulus pada setiap tingkat akademiku.
 



Di saat-saat seperti itu, ayah datang menolongku dengan sedikit uang yang hanya cukup untuk memasukkan mobilku ke bengkel atau mereparasi mesin ketikku. Ketika aku lulus, aku baru terhenyak dan sadar bahwa, ternyata apa yang dilakukan ayah dengan menjaga agar kendaraan tua dan mesin ketikku tetap bisa berjalan dan digunakan adalah sebuah sumbangsih yang luar biasa besar. Itu memang bukan jumlah uang yang besar, tetapi aku yakin, memang itulah yang sungguh-sungguh aku perlukan di saat itu.
 
Kita tak pernah tau cinta orang tua kita pada kita hingga kita menjadi orang tua 
 
 

0 komentar:

Posting Komentar