Menteri Yang Zalim
Di Negeri Baghdad dahulu kala ada seorang menteri yang dikenal sangat
jahat perangainya, sehingga ditakuti warganya. Ia tidak bisa melihat
perempuan cantik, terutama istri orang, pasti diambilnya. Apabila
membeli suatu barang, ia tidak pernah mau membayar. Ihwal itu lama
kelamaan sampai juga ke telinga Abu Nawas sehingga membuat hatinya
panas. Maka Abu Nawas pun pasang niat tidak akan meninggalkan daerah itu
sebelum sang menteri menghembuskan nafas terakhir alias mati.
Kemudian Abu Nawas
berangkat ke tempat menteri itu tinggal dan sengaja menyewa rumah yang
berdekatan untuk melakukan investigasi. Setelah beberapa hari bergaul
dengan penduduk di situ, ia pun kenal dengan sang menteri dan bahkan
bersahabat baik. Begitu baiknya pendekatan yang dilakukan sampai-sampai
menteri itu tidak bisa mencium rencana busuk Abu Nawas. Abu Nawas boleh
masuk dan keluar rumah itu dengan bebas, sehingga ia tidak menaruh
curiga sama sekali kepadanya.
Di dalam rumah itu Abu Nawas melihat sebuah tiang gantungan yang
digunakan untuk menggantung orang-orang yang bersalah kepada menteri
itu. Cara menggantungnya pun dengan cara yang sadis, yaitu kaki di atas
dan kepala di bawah. Dalam posisi demikian, orang itu dipukuli sampai
mati.
“Dengan demikian memang betul berita-berta yang aku dengar tentang menteri ini,” pikir Abu Nawas. “Nantikanlah, aku pasti akan membalas.”
“Hai orang muda,” kata Abu Nawas, kepada seorang pemuda tampan yang sedang menggiring seekor lembu gemuk. “Apakah lembu itu akan dijual?” Pertemuan itu terjadi ketika Abu Nawas berjalan-jalan di sebuah sudut desa itu.
“Lembu ini tidak dijual,” jawab si pemuda, “Karena ini warisan bapak hamba.”
“Lebih baik lembu itu dijual saja,” Abu Nawas mencoba merayu. “Kalau
laku dengan harga tinggi, kamu bisa berdagang sehingga uang itu menjadi
banyak.”
“Betul juga kata Tuan,” jawab si pemuda setelah berpikir sejenak.
“Namun untuk menjualnya hamba harus berkonsultasi dengan ibu di rumah,
kalau ibu setuju boleh tuan membelinya.”
“Itu akan lebih baik,” Ujar Abu Nawas. Sementara anak muda itu
pulang, Abu Nawas memeras otak, ia akan berusaha memanfaatkan ketampanan
wajah anak muda itu untuk melaksanakan rencananya.
“Hai menteriku, tunggulah bagianmu kelak,” kata Abu Nawas dalam hati dengan perasaan geram.
“Ibu setuju menjual lembu ini,” kata pemuda itu kepada Abu Nawas, setelah keduanya bertemu lagi.
“Bagus,” kata Abu Nawas, “Tetapi sebenarnya bukan aku yang akan
membeli lembumu, melainkan menteri yang zalim itu. Oleh karena itu
berikan harga yang pasti, sesudah itu kita membuat perjanjian dan kamu
yang akan melaksanakannnya. “Setuju?” Tanya Abu Nawas. “Setuju!” jawab
si pemuda.
“Giringlah lembumu itu ke kebun, dan tunggulah aku di sana,” kata Abu
Nawas. “Aku akan ke rumah menteri itu dan setelah itu aku menemuimu.”
“Hai menteri, ada seorang pemuda yang akan menjual seekor lembu
gemuk,” kata Abu Nawas. “Jika Anda tertarik, silahkan anda beli dengan
harga yang pantas, tidak mahal, mari kita ke kebun itu.”
“Berapa harganya?” tanya si menteri begitu sampai di kebun. Ia sangat tertarik dan ingin segera membelinya.
“Lima puluh dinar,” jawab si pemuda. “Boleh ditawar?” tanya si
menteri. “Tidak bisa, karena lembu ini warisan bapak hamba,” jawab si
pemuda.
“Baik, pasti kebayar harga itu,” ujar si menteri. Maka disodorkan
ujung tali pengikat lembu kepada menteri, namun ketika ditarik ternyata
kosong. Rupanya diam-diam Abu Nawas telah melepas binatang itu, namun
karena harga telah disepakati, pemuda itu meminta bayarannya.
“Mana lembunya?” tanya si menteri. “Masa hanya talinya? Aku tidak sudi membayar.”
Keduanya pun berbantah-bantahan dengan sengitnya. “Aku minta
bayarannya,” kata si pemuda. “Kalau tidak mau bayar, kembalikan
lembuku.”
“Apa yang mesti kubayar, dan apa yang harus kukembalikan,” kilah si menteri. “Cuma tali yang kau berikan kepadaku … Nih, ambillah, aku tidak butuh tali.”
“Kerjamu memang cuma menipu dan menganiaya orang!” kata si pemuda lagi. “Kamu memang zalim, mau makan darah orang kecil.”
Si menteri tidak menggubris lagi perkataan itu, ia berjalan pulang
kerumahnya. Sementar si anak muda hatinya sangat sedih, lembu hilang,
uang melayang. “Barangkali memang itulah nasibku. Apa boleh buat,”
keluhnya.
“Sudahkah kamu menerima pembayaran harga lembumu?” tanya Abu Nawas kepada anak muda pada malam harinya.
“Hamba diperdaya menteri itu,” jawab si pemuda dengan wajah nelangsa. “Lembu hilang, uang melayang.”
“Coba ceritakan kata Abu Nawas. “Aku kira jual beli berjalan lancar sehingga aku cepat-cepat pergi karena ada urusan lain.”
Maka diceritakanlah kejadian itu dengan nada mendongkol. “Sialan menteri itu,” ujar si pemuda.
“Oh begitu, kata Abu Nawas.
“Jangan sedih, Insya Allah aku akan membantu.” Kemudian Abu Nawas minta
si pemuda bersedia melaksanakan rencana yang telah disusunnya untuk
membunuh si menteri zalim itu.
Keesokan harinya jam tujuh malam seorang wanita cantik berhenti di
depan rumah si menteri zalim, ia tampak membuang sesuatu yang dicabut
dari kakinya.
“Hai Adinda, dari mana gerangan asalmu?” tiba-tiba muncul suara dari sudut yang gelap. Suara itu ternyata milik menteri yang saat itu juga sedang berjalan-jalan di depan rumahnya. Hatinya amat girang begitu melihat wajah cantik yang tiba-tiba muncul di depan matanya.
“Hamba orang desa, tadi ketika berjalan bersama suami, kaki hamba
tertusuk duri. Hamba terpaksa berhenti untuk menarik duri dari kaki,
suami hamba tidak mau menunggu dan hamba ditinggal di sini. Hamba tidak
tahu jalan pulang ke rumah,” kata si perempuan itu dengan penuh iba,
lalu ia pun menangis.
“Jika Adinda mau, silahkan mampir ke rumah hamba sambil menunggu
suami Adinda. Barangkali dia sekarang sedang mencari Adinda,” kata si
menteri. “Jangan takut.”
“Hamba takut kepada istri dan pelayan-pelayan tuan,” kata perempuan muda itu.
“Kalau begitu, silahkan Adinda duduk di sini, Kanda akan menyuruh
istri pergi ke rumah ibunya bersama pelayan-pelayan itu,” kata si
menteri. Maka sang menteri pun tergopoh-gopoh masuk ke rumahnya.
“Hai Adinda, katanya, “Sekarang ini sebaiknya Adinda pergi ke rumah
ibu karena sudah lama rasanya Adinda tidak kesana.” “Jika demikian
kehendak Kakanda, baiklah hamba kesana,” jawab istri si menteri.
“Hai Adinda, kata si menteri kepada perempuan muda itu setelah rumah
kosong. “Silahkan masuk ke rumah hamba, karena istri dan semua pelayan
telah pergi.”
“Baiklah, katanya sambil mengikuti langkah si menteri. Di dalam rumah dilihatnya tali gantungan seperti yang diceritakan Abu Nawas. Menteri itu mendorong si perempuan muda ke kamar dan mengajak tidur, namun ia mencoba menolak sambil merajuk.
“Sebelum kita tidur, cobalah Kakanda bergantung sebentar pada tali
itu,” rayunya. “Seumur hidup hamba belum pernah melihat orang bergantung
ditali.”
Karena terdorong oleh nafsu syahwat yang menggelora, permintaan itu
dituruti si menteri. “Tolong Adinda pegang tali gantungan ini kuat-kuat,
jangan dilepaskan,” katanya.
Menteri itu kemudian memasukkan badannya kedalam tali gantungan,
setelah itu si perempuan gadungan melepaskan tali yang dipegangnya
sehingga badan si menteri menggantung dengan posisi kaki di atas dan
kepala di bawah. Si perempuan pun mengeluarkan sebuah pentungan lalu
memukul badan dan kepala si menteri zalim itu sambil berujar. “Hai
menteri zalim, aku bukan perempuan, akulah pemilik lembu yang kau tipu,
sekarang terimalah pembalasanku. Aku minta harga lembuku, ayo bayar…
bayar” Bak – Bik – Buk… darah segar mengalir dari mulut, hidung dan
telinga menteri itu, sehingga ia tidak sadarkan diri. “Mampuslah kau,”
teriak si pemuda.
Mengira bahwa si menteri sudah mati, masuklah perempuan palsu itu ke
dalam rumah, dan menjarah barang-barang yang ada, sesudah itu barulah ia
pulang dengan menggondol harta kekayaan si menteri zalim Di tempat lain si istri menteri mendapat firasat buruk, hatinya
berebar-debar keras. “Ada apa gerangan di rumahku?” pikirnya dalam hati,
maka dengan bergegas pulanglah ia ke rumah.
Setiba di rumah ia menjerit-jerit histeris lantaran dilihatnya
suaminya tergantung pingsan dengan kepala berdarah dan harta bendanya
ludes. Ketika tali gantungan dilepas, ternyata suaminya masih bernafas,
meski terengah-engah. Kemudian dipercikkan air mawar ke sekujur tubuhnya
dan kepala menteri hingga siuman dan membuka matanya.
“Ya Kakanda……” ucap si istri sambil menangis meratapi nasib suaminya. “Kenapa Kanda bisa begini?”
Si menteri tidak bisa segera menjawab pertanyaan itu, tapi lambat
laun setelah kesadarannya mulai pulih ia pun bisa menceritakan semua
yang dialaminya. Setelah itu ia jatuh sakit.
Abu Nawas khawatir demi mendengar kabar itu, buru-buru ditemui si
anak muda itu di rumahnya. “Mengapa tidak kamu matikan dia?” tanya Abu
Nawas. “Bukankah aku sudah pesan, jangan kamu tinggal sebelum dia mati.
Sekarang sebaiknya kamu tambah penyakit menteri itu supaya mati.
“Bagaimana caranya?” tanya si pemuda, ia tidak kalah khawatir dengan Abu Nawas.
“Berpura-puralah menjadi dukun, karena saat ini menteri itu sedang
mencari dukun, kata Abu Nawas. “Selanjutnya usahakan dengan caramu
sendiri agar rumah itu kosong, dan setelah kosong pukulilah menteri itu
sampai mati, sebelum mati, jangan kamu tinggalkan dia.”
Esok harinya datanglah seorang kakek tua bertongkat ke rumah menteri
itu, ia memakai jubah panjang dan serban putih dengan langkah
terbungkuk-bungkuk.
“Tuan, tanya seorang pelayan menteri itu, siapakah tuan ini?
“Aku ini dukun,” jawabnya, “Kenapa kamu menyapa aku di tengah jalan
seperti ini, tidak sopan berbuat seperti itu kepada orang tua.”
“Maaf,” kata si pelayan, “Hamba pelayan menteri, beliau saat ini
sedang sakit dan perlu dukun, jika tuan suka, silahkan masuk ke
rumahnya.” “Ya tuan dukun, obatilah hamba ini,” kata si menteri itu
setelah dukun palsu itu duduk di samping pembaringannya. “Hamba sakit…”
lama-kelamaan suaranya hilang.
“Moga-moga hamba bisa mengobati tuan,” jawab si dukun. “Tapi bisakah
pelayan-pelayan itu disuruh mencari daun kayu lengkap dengan akarnya.
Daun itu memang sulit dicari tetapi banyak gunanya untuk penyembuhan
tuan.”
Menteri itu kemudian menyuruh tiga orang pelayan untuk memenuhi
permintaan dukun. Tak lama kemudian dukun itu berkata lagi, “Maaf, hamba
lupa, adalagi daun kayu yang lain yang hamba butuhkan. Tolong pelayan
yang lain disuruh mencari.” Maka menteri itu pun menyuruh pelayan
lainnya sehingga rumah itu kosong karena anak dan istri menteri itu
sabelumnya sudah pergi ke luar rumah.
Setelah yakin bahwa rumah itu kosong, diambil sebuah pentungan dan
dipukulnya sekujur badan menteri itu sampai babak belur dan mengeluarkan
darah dari hidung, telinga dan mulunya. “Hai menteri, aku bukan dukun,
tapi pemilik lembu yang kamu tipu. Mana bayaranmu!” katanya.
Menteri itu pingsan dan tidak bernafas lagi. Dikiranya si menteri
sudah mati, cepat-cepat dukun itu pergi, karena khawatir para pelayan
itu segera kembali. “Puas hatiku karena menteri itu sudah mati,” pikir
si dukun palsu.
Kira-kira satu jam kemudian para pelayan itu kembali dengan tangan
hampa diikuti oleh istri menteri. Mereka cemas melihat tuannya
tergeletak dan dukun itu tidak ada lagi. Lalu istri menteri itu menyiram
badan suaminya dengan air mawar yang diminumkan seteguk ke mulutnya.
Tak lama kemudian menteri itu sadar namun belum bisa bicara.
“Ya istriku, orang itu bukan dukun, tetapi yang punya lembu itu juga,” kata si menteri setelah sadar. “Panggil orang-orang alim dan kabarkan kepada mereka bahwa aku sudah mati. Masukkan badanku ke dalam keranda bersama sekerat batang pisang yang dibungkus kain putih sebagaimana mayat laiknya. Tetapi yang dimasukkan ke liang lahat nanti adalah batang pisang tadi, sedang badanku tetap dalam keranda dan dibawa pulang kembali. Dengan demikian orang yang punya lembu itu tidak akan datang lagi kemari. Kapan-kapan bila aku sembuh akan kucari orang itu untuk membuat perhitungan terakhir.”
Semua pesan itu dikerjakan oleh istri menteri itu dengan baik. Tetap
dasar Abu Nawas, ia berhasil mencium akal busuk itu. Maka ditemuinya si
pemilik lembu. “Kenapa tidak kamu pukul sampai mati menteri itu?”
bertanya Abu Nawas.
“Orang itu sudah mati,” kata si pemuda. “Ia tidak bergerak dan tidak
bernafas lagi, karena darah keluar dari hidung dan telinganya.”
“Saat ini menteri itu masih hidup tapi pura-pura mati,” kata Abu
Nawas. Lalu diceritakannya rencana menteri tadi dan rencananya sendiri
agar menteri itu benar-benart mati, sebab jika ia masih hidup juga aku
tidak dapat menjamin nasibmu kelak,” “Hai saudara, maukan Anda aku bayar untuk menaiki kuda yang cepat
larinya?” kata Abu Nawas kepada seorang joki yang berbadan tinggi tegap,
dekatilah kuburan menteri itu, jika jenazah sudah sampai ke liang
kubur, berteriaklah keras-keras, “Akulah pemilik lembu”, kemudian
paculah kudamu sekencang-kencangnya. “Setuju?” “Nah, ini uangnya,
pergilah.” Esok harinya iring-iringan jenazah menteri itu berangkat dari rumah
lengkat dengan orang besar, orang alim, sanak keluarga, dan sahabat
almarhum. Begitu sampai dekat liang lahat, terdengar teriakan “Akulah
pemilik lembu”.
Suasana di kuburan menjadi kacau, karena para pelayat kemudian
berlarian ingin mengejar orang yang berteriak tadi. Namun apa lacur,
orang yang dikejar sudah kabur dengan kudanya, sementara keranda
ditinggal tidak terurus. Pada saat itulah si pemuda pemilik lembu yang
sebenarnya muncul.
Rupanya ia ikut dalam barisan pelayat. “Hai menteri, akulah pemilik
lembu yang kamu tipu, sekarang saatnya kamu harus membayar lunas
utangmu. Tidak akan kubiarkan nyawamu tetap bersarang di badanmu.” Lalu
di pukulnya menteri itu sekuat tenaga hingga benar-benar mati. Setelah
itu ia pulang ke rumah.
Akan halnya joki tadi, akhirnya ia terkejar dan tertangkap dan
kemudian dibawa ke kuburan menteri. Upacara pemakaman yang tadinya hanya
pura-pura menjadi upacara sungguhan karena menteri yang diusung di
dalam keranda itu benar-benar mati, badannya hancur dan tidak bernafas
lagi tanpa diketahui siapa pelakunya. Hal itu mengagetkan seluruh
pelayat.
Setelah itu orang-orang pulang ke rumah masing-masing dengan hati
masygul dan heran. Sedangkan si joki dibawa oleh anak-anak menteri
kerumahnya. “Apa sebab kamu berteriak dan mengaku sebagai orang yang
punya lembu?” tanya mereka.
“Aku tidak tahu sebabnya, aku hanya diupah untuk berteriak seperti itu,” jawab si joki.
“Siapa yang mengupah kamu?” Tanya anak-anak meteri. “Abu Nawas,” jawab si joki.
“Hai Abu Nawas,” kata anak menteri setelah menemukan Abu Nawas,
kenapa kamu mengupah untuk berteriak seperti itu dan menganiaya
bapakku?”
“Menganiaya bapakmu?” Abu Nawas balik bertanya. “Bertanyalah yang benar.”
“Engkau suruh orang itu berteriak mengaku sebagai orang yang punya
lembu, maka kami kejar dia, karena yang menyebabkan bapakku sakit tiada
lain adalah orang yang punya lembu, bukan dari Allah.
“Oh begitu,” kata Abu Nawas sambil senyum kecil. “Jadi kamu tidak
tahu bahwa orang yang punya lembu itu sudah ditakdirkan Allah untuk
berbuat demikian karena bapakmu terlalu zalim, penipu, penganiaya,
pengisap darah orang kecil, dan sebagainya. Rasanya tidak usah
diperpanjang masalah ini, yang akan membuatmu malu besar, lebih baik
kamu doakan saja agar bapakmu diampuni Allah.”
Anak menteri itu terdiam, sebab ia tahu semua perbuatan bapaknya.
“Barangkali memang demikian takdir bapakku,” pikirnya dalam hati sambil
berjalan pulang ke rumah.
Warga kota itu – termasuk orang yang punya lembu – merasa senang dan
tenang hatinya karena tidak ada lagi orang yang akan berbuat zalim.
Sedangkan Abu Nawas segera kembali ke rumahnya. “Niatku sudah
terlaksana,” pikirnya. “Siapa tahu barangkali Khalifah Harun Al-Rasyid
sedang menanti kedatanganku ke istana beliau, lagi pula aku juga sudah
sangat rindu kepada Baginda Sultan.”
0 komentar:
Posting Komentar