Rabu, 30 Oktober 2013

Si Pemancing

Joran Pancing

Bilah panjang lentur dengan seutas tali dan mata kail diujungnya, tersandar rapi di dinding ruang rumah. Tak Cuma satu, tapi puluhan. Ngeri aku melihat ujung joran, yang berkilat tertimpa lampu. Tapi yang lebih mengerikan, joran-joran pancing itu membuat suamiku lupa diri.
Ya, hal yang semula kukira sekedar hobi, begitu mendarah daging bahkan digilainya. Pancing-pancing itu begitu “dituhankannya”. Dielus-elusnya tiap hari, bahkan hingga jauh malam. Ia rela menahan lapar, dari pada tidak bisa pergi mancing. Adzan yang berkumandang pun tak juga membuatnya bisa beranjak dari hadapan joran-joran itu. Seolah ada magnet yang menahannya untuk bersujud.

Memancing adalah hobinya sejak muda. Tepatnya saat kuliah. Begitulah pengakuannya. Semula hanya diajak teman. Kemudian iseng sendiri, lama-lama ketagihan. Awal menikah denganku, hobinya masih bisa kutolerir. Sebab suami hanya melakukan sesekali, itupun makan waktu seharian tanpa bisa diganggu. Aku maklum dan bisa memahami, mungkin ia ingin mencari suasana baru dari kesibukannya. Refreshing. Toh, ia tak meninggalkan shalatnya.

Namun sejak ia mulai masuk dunia professional, sering clubbing  bersama teman-temannya, dia berubah. Awalnya aku tak menyadari itu, sebab ia pandai menutupinya. Ternyata aku kecolongan…

Saat aku menemukannya ia sangat jauh berubah kini. Ia sering meninggalkan tempat usaha kami tanpa setahuku. Ia memasrahkannya pada karyawan tanpa mengontrolnya. Aku tak tahu sama sekali tentang hal itu. Karena begitulah komitmen yang kami buat. Ia mengurus usaha dan bertanggung jawab penuh, sementara aku mengurus rumah juga anak-anak. Aku justru tahu dari orang lain saat keadaan usaha kami diambang maut.

Aku sempat mengingatkan suami. Tapi ia tak menggubrisnya. Ia hanya diam dan berlalu. Perihnya lagi, ketika waktu shalat tiba ia justru sibuk dengan joran-jorannya. Hampir aku marah melihatnya, tapi kucoba sabar.

“Mas adzan tuh. Shalat dulu, nanti dilanjutkan lagi.” Ia berlalu dengan setengah hati. Sejenak berikutnya aku beranjak ruang belakang. Apa yang kulihat? Suamiku justru asyik nongkrong dengan rokoknya.

“Sejak kapan ngrokoknya?”
“Kalau mincing malam kan dingin. Sesekali boleh dong buat menghalau dingin.” Jawabannya terdengar datar.

“Mas, jika boleh aku ngomong, pancing dan hobimu itu sudah membuatmu berubah. Bikin kamu sakit.” Lupa tanggung jawab, lupa shalat, nggak perhatian pada keluarga….” Belum lagi aku selesai bicara, ia membentakku.

“Tahu apa kamu?! Ini urusanku.”

Maghrib itu berlalu dengan ketegangan. Berkali-kali kuucap istighfar panjang. Sementara empat anakku menangis ketakutan melihat suamiku marah. Semenjak itu, mereka makin jauh dari ayahnya. Tiap melihat ayahnya mereka lari menjauh, sedih hatiku rasanya. Apakah suamiku tak membaca kerinduan mereka? Hari-hari di rumahku beku. 

Mertuaku sampai ikut turun tangan melihat kelakuan anaknya yang kelewatan. Kami kehilangan usaha kami, lepas kelima-limanya. Usaha yang kurintis dengan susah payah. Kami pailit. Bahkan untuk makanpun aku dibantu mertua. Sekolah, kakek-nenek yang membayarkan. Aku tak tinggal diam. Aku berjualan sayur keliling, padahal aku tengah hamil anak kelima.

Dalam doaku aku selalu memohon Allah membuka hati suamiku. Agar ia berubah dan menyadari kesalahannya. Mengembalikan ia seperti dulu. Hampir lima belas tahun kujalani dera batin itu. Jika bukan karena semangat mertua dan orang tua, jika karena bukan doa mereka, jika bukan karena anak-anak, aku tak mungkin bertahan selama itu. Tak henti aku mengadu pada Allah, siang malam.

Lima belas tahun kemudian Allah baru menjawab doaku. Itu bermula dari kisah tragis yang terjadi bersamaan dalam satu hari. Suamiku jatuh di bendungan saat memancing, padahal, waktu menjelang maghrib. Ia sempat diingatkan penduduk setempat.

“Nggak pulang Pak, mau maghrib, pamali.” Suamiku dan beberapa temannya tersenyum.

“Sudah biasa Pak, tanggung, sebentar lagi.” Jawab suamiku. Entah bagaimana mulanya, ia merasa mengantuk dan ia tercebur waduk. Dan ia tak bisa berenang sama sekali! Air yang tinggi membuat teman-temannya tak segera memberi pertolongan. 

Suamiku berjuang dengan maut. Ia seperti ditarik ke bawah. Dalam perjuangannya, ia melihat seluruh tubuhnya penuh mata kail. Antara sadar dan tidak, ia melihat dirinya berada dalam kobaran api. Sebentar tubuhnya kesakitan dibakar api. 

Sebentar tubuh ditarik ke atas dengan mata kail, dimasukkan ke api lagi. Begitu terus-menerus. Satu yang diingatnya, ia berusaha menyelamatkan diri dari siksa itu. Hingga entah bagaimana, bapak yang menegurnya tadi telah meraihnya ke sisi waduk. Suamiku pucat pasi ketakutan. Air banyak ia telan. Alhamdulillah, ia selamat.

Ia pulang diantar teman. Dan entah bagaimana pula, anakku yang berumur empat tahun bisa menelan mata kail lengkap dengan tali dan joran yang masih menempel!! Padahal kala itu, aku tengah dibuat panik dengan keadaan suami. Kepanikan pun bertambah. Aku tak bisa menahan tangisku. Begitupun suamiku. Meski lemas ia berusaha bangun.

Ia memaksa ikut mengantar ke rumah sakit. Sementara si kecil tak henti menangis. Suamiku begitu gelisah. Tak sedikitpun ia melepas si kecil dari dekapannya.

“Maafkan mama ya nak, maafkan papa. Semua karena papa…”

Malam itu juga anakku menjalani operasi. Lega semua berjalan lancar. Dua hari ia di rumah sakit. Saat aku membawanya pulang ke rumah, apa yang kulihat? Joran-joran berharga jutaan itu tak ada lagi di dinding dan sudut-sudut rumah. Lenyap tanpa bekas.

Usaha kami kembali, suamiku kembali. Kebersamaan kami kembali. Semoga hingga akhir hayat nanti. 

Alhamdulillah ala kullihal. 

[Majalah Sakinah Volume 11, No. 8  15 November – 15 Desember 2012] 

0 komentar:

Posting Komentar