Senin, 21 Oktober 2013

Punya Malu

MALU

“Sesungguhnya, setiap agama itu memiliki moral. Dan “moral” Islam adalah “rasa malu” (al-haya’). (HR. Imam Malik).

Malu bukan hanya sekadar sifat. Tapi malu adalah “moral”, itu makna yang tersurat dalam hadits Baginda Rasulullah s.a.w. di atas. Betapa mulia orang yang punya malu. Betapa hinanya orang tak punya rasa malu. Sebesar rasa malu seseorang, sebesar itu pula nilai moralnya.
Sebegitu pentingkah moral ini? Ya, karena malu itu integral dengan “iman”. Orang yang tak tahu malu, adalah orang yang kadar imananya ‘minus’.

Pejabat yang doyan “korupsi” adalah pejabat yang tak tahu malu. Orang yang bangga jadi “penjilat”, bikin laporan ABS (Asal Bapak Senang), politik belah bambu dlsb adalah orang yang tak tahu malu. Manusia-manusia yang menjajakan ‘aurat’nya ke sana-kemari adalah contoh real orang-orang yang tak tahu malu. Seolah auratnya murni dan mutlak miliknya.

Bukankah sekarang saatnya untuk berlomba-lomba menumpuk kekayaan yang tak halal. Sekarang pula saatnya orang-orang mendukung tindakan amoral: homseksualitas, lesbianisme, dlsb. Lihatlah apa yang sekarang berlaku dan berjalan di negeri yang mayoritas Muslim ini. Yang korupsi mayoritas adalah “Muslim”. Yang menolak RUU Pornograpi & Pornoaksi juga adalah orang-orang yang tahu agama, tapi tak tahu malu. Maka tak segan-segan seorang “hajjah” mendukung lesbianisme. Benar-benar tak tahu malu. Benar-benar manusia ingin “dihewankan” dan “dibinatangkan”. Bukankah hewan tak bisa membedakan di tempat ramai dan sepi. Dia juga tak mampu membedakan mana ibu dan saudarinya. Semuanya sama, semuanya boleh dikawini. Tak tahu malu. Itu lah hewan.
Merugi!
Orang-orang yang “merugi” adalah orang yang kehilangan rasa malu. Rasulullah s.a.w. pernah memberi gambaran menarik tentang orang yang tak tahu malu ini:

“Allah ta’ala jika ingin menghancurkan seorang hamba, dicabut dari dalam dirinya “rasa malu” (al-haya’). Jika telah dicabut darinya rasa malu, Anda takkan menemuinya kecuali dalam keadaan “dimurkai” dan “memurkai” (maqitan mumqitan). Jika Anda menemuinya dalam keadaan “dimurkai” dan “suka memurkai”, maka dicabutlah dari dirinya “amanah”. Dan jika telah dicabut dari dirinya “amanah”, maka Anda akan mendapatinya sebagai “orang yang suka berkhianat”. Jika Anda telah mendapatinya sebagai orang yang “suka berkhianat”, maka dicabutlah “rahmat” dari dirinya. Dan jika Anda mendapatinya sebagai orang yang dicabut rahmat dari dirinya, maka dia akan menjadi orang “terkutuk” dan “suka melaknat”. Dan ketika Anda mendapatinya sebagai orang yang “terkutuk” dan “suka melaknat”, maka dicabutlah dari dirinya “ikatan Islam”. (HR. Ibnu Majah).

Na’udzu billah min dzalik!

Bayangkan, betapa ruginya orang yang dicabut rasa malu dari dalam dirinya. Hati-hati, jika rasa malu sudah tak melekat lagi dalam qalbu kita. Ketika rasa malu mulai hilang, itu artinya mengundang murka Allah. Jika murka Allah sudah “diundang”, yang muncul adalah “rasa ingin memurkai orang lain”. Inginnya menumpahkan emosi dan kemarahan kepada orang lain. Semua menjadi sasaran emosinya yang kadang tak pada tempatnya. Kalau sudah seperti itu, rasa amanah pun akan sirna. Kalau kita tak lagi percaya kepada orang lain. Dan orang lain pun tak percaya kepada kita, kita jadi merasa tak ada yang “melihat”, dan akhirnya suka berkhianat. Menyalah-gunakan kekuasaan dan kesempatan. Kita selalu lihai mencari “kesempatan” dalam ‘kesempitan’. Orang yang kehilangan rasa “amanah” akan tampil sebagai “pengkhianat ulung”.

Jika seseorang sudah menjadi “pengkhianat” kelas kakap, artinya dia sudah menutup pintu rahmat Allah. Pintu, jendela dan kran “rahmat” tak terbuka lagi baginya. Allah menutupnya rapat-rapat. Dan dia pun akan hidup tanpa “rahmat Allah”. Ruginya lagi, tertutupnya pintu rahmat menjadi awal yang jelek baginya. Karena dia akan menjadi manusia “terkutuk”. Kalau sudah terkutuk, dia pun akan menjadi sosok “pelaknat” dan suka mengutuk orang lain. Kalau sudah sampai pada titik ini, berarti “tali Islam” sudah tak ada lagi dalam qalbunya.

Maka wajar saja jika orang yang masih punya hati nurani sangat merasa bertanggung-jawab untuk menjaga moral bangsa (hirasah akhlaq al-sya’b). Karena tanpa moral, apapun tak berarti. Tanpa akhlak, tak ada yang dapat dibanggakan dari diri seorang Muslim. Karena hidupnya akan bertolak-belakang dengan misi Rasulullah s.a.w. ‘Innama bu’itsu li’utammima makarimal akhlaq’ (Sungguh, aku diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia) [HR. Ahmad).

Amir al-Syu’ara’ (Pemimpin Para Penyair), Ahmad Syauqi Bek, pernah mengingatkan, “Innamal umamu baqiyat akhlaquhum. Wa in dzahabat akhlaquhum dzahabu” (Suatu umat, suatu bangsa, akan eksis jika moral bangsanya eksis. Jika moral tak lagi ada, eksistensinya akan punah dan musnah). Nilai sebuah bangsa dan negara adalah “moralitas”, bukan kekayaan alamnya. Karena “moralitas” menentukan perjalanan sebuah bangsa.

Oleh karena itu, Rasulullah s.a.w. senantiasa berdoa, “Allahumma jannibni munkaratil akhlaq wal a’mali wal ahwa’i wal adwa’i” (Ya Allah, jauhkanlah diriku dari segala macam akhlak tercela, hawa nafsu yang buruk, dan penyakit-penyakit yang ganas) [HR. Al-Tirmidzi, disahihkan oleh al-Hakim).

Kesempurnaan Iman
Jadi, hilangnya rasa malu adalah awal dari bencana. Dia awal murka, awal dicabutnya rahmat, awal menjadi seorang pelaknat dan pengkhianat. Terakhir, dia biasa mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Orang mungkin boleh bangga bahwa dia “lesbi”, tapi Muslimah. Orang boleh menepuk dada bahwa dia “lesbian” tapi “mujtahidah”. Jangan lupa, ketika satu titik saja rasa ingin membela kemungkaran, kita sudah termasuk ke dalam pembela kemungkaran. Dan orang yang merusak moral orang lain dengan dalih bahwa itu kepentingan dan privacy pribadi, dia telah kehilangan kontrol keimanan. Dan kontrol keimanan itu salah satunya adalah rasa malu.

Salah satu faktor kesempurnaan keimanan adalah tumbuh suburnya “rasa malu” dalam qalbu. “Malu itu bahagian dari iman. Dan iman adalah bagian dari surga. Sedangkan segala perkataan dan perbuatan “keji” adalah moral yang jelek. Dan moral yang jelek tempatnya adalah neraka,” (HR. Ahmad), demikian tegas Baginda Nabi s.a.w.

Orang yang memiliki rasa malu tidak akan sembarangan berbicara. Kata-katanya yang keluar dari mulutnya selalu baik (kalam thayyib). Lisannya terhindar dari dusta dan kata-kata yang rendah nilai. Seluruh kata-katanya sarat nilai, mahal dan berharga. Benar-benar “emas”. Manusia yang rasa malunya luar biasa, berarti sadar betul pepatah yang mengatakan ‘mulutmu harimamu’. Orang yang memiliki rasa malu adalah orang yang mengerti bahwa tindak-tanduknya akan disaksikan banyak orang: keluarga, tetangga bahkan masyarakatnya. Maka, dia merasa malu kalau menampilkan hal-hal yang tak benar dan tak baik. Ibunda kita, Ummul Mukminin Aisyah r.a. diriwayatkan pernah mengilustrasikan “rasa malu” (al-haya’). “Seandainya rasa malu itu berbentuk seorang laki-laki, maka dia pasti seorang laki-laki yang saleh. Dan seandainya kekejian itu berbentuk laki-laki, maka pasti dia adalah laki-laki yang jelek dan jahat.” (HR. Al-Thabrani).
Malulah, karena malu adalah kemuliaan. Malu lah, karena malu adalah keimanan. Malu lah, karena malu adalah akhlak seorang Mukmin. Malu lah, agar sempurna imanmu. 

Wallahu a’lamu bi al-shawab. 
(Selasa pagi di Centre of Islamic and Occidental Studies (CIOS), Gontor, Ponorogo, Jawa Timur).

0 komentar:

Posting Komentar