Setengah Dari Agama = Menikah
Seorang pendengar radio mengajukan pertanyaan kepada seorang ustad
yang mengasuh acara konsultasi agama Islam di sebuah stasiun radio di
Bandung. Pertanyaannya berkaitan dengan sebuah hadis terkenal yang
berbunyi begini:
”Apabila seorang hamba menikah maka sungguh orang itu telah
menyempurnakan setengah agama maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah
dalam setengah yang lainnya.” (H.R. Baihaqi)
Pendengar tersebut bertanya, apa yang dimaksud dengan menikah itu telah menyempurnakan setengah agama?
Dengan lugas ustad tersebut menjawab dengan perumpamaan bahwa kalau
seseorang menikah maka ujiannya lebih berat daripada orang yang tidak
menikah. Ujian orang yang menikah tidak hanya terhadap istri/suaminya,
tetapi juga ujian terhadap mertua, keluarga istri, ipar, anak, orangtua
kandung, dan sebagainya. Sebaliknya orang yang belum (tidak) menikah
ujiannya sedikit, paling-paling terhadap orangtua dan adik/kakak.
Ini jawaban yang sederhana tetapi cukup menjelaskan bahwa menikah itu
kelihatannya indah namun sebenarnya dibalik itu perjuangan
menjalankannya cukup berat. Pertama, kita harus menyesuaikan diri dengan
pasangan (istri/suami) yang berbeda karakter dengan kita.
Menyatukan
dua insan yang berbeda (latar belakang, sifat, perangai, budaya, dll)
bukan hal yang mudah. Ada yang membutuhkan waktu penyesuaian yang cepat
dan ada pula yang bertahun-tahun. Konflik antara suami istri pasti ada
sampai dihasilkan titik temu atau bahkan tidak tercapai penyesuaian yang
akhirnya berujung pada perceraian. Itulah ujian pertama.
Ujian berikutnya adalah bagaimana menempatkan diri terhadap mertua
sembari tetap memberi perhatian kepada orangtua kandung. Timpang
memperhatikan salah satu bisa menimbulkan ujian batin yang berujung pada
konflik antara suami dan istri.
Terlalu perhatian kepada orangtua
kandung bisa menimbulkan kecemburuan istri, sebaliknya terlalu sayang
kepada istri/suami atau mertua bisa membuat orangtua merasa tidak
dibutuhkan lagi. Termasuk dalam ujian ini adalah keluarga mertua
(adik/kakak ipar) dan saudara-saudaranya. Pokoknya pandai-pandai
menempatkan diri sajalah.
Kalau sudah mempunyai anak, maka anak tidak hanya sebagai rahmat
tetapi juga sekaligus ujian. Macam-macam saja ujiannya, mulai dari ujian
kesabaran dalam mendidik anak hingga ujian ekonomi karena kebutuhan
keluarga makin besar. Orangtua harus berjuang untuk untuk memenuhi hak
anak. Pada saat-saat sulit bisa saja orangtua lupa pada iman sehingga
mau melakukan hal-hal yang terlarang guna memenuhi kebutuhan keluarga
(misalnya korupsi di kantor).
Memang berkeluarga itu sungguh berat perjuangannya. Nah, apakah anda
menjadi takut menghadapi masa depan berkeluarga? Apakah anda akan
memilih akan tetap membujang atau menikah? Kalau tetap membujang memang
anda akan terhindar dari ujian dan perjuangan yang berat itu, tetapi
anda belum menjalankan setengah dari ajaran agama. Mungkin baru
seperempat atau sepertiganya saja. Jika menikah maka berarti anda sudah
menyempurnakan setengah dari ajaran agama dan setengahnya lagi adalah
ketaqwaan dalam menjalankan pernikahan itu. Menikah itu adalah ibadah
dan setiap ibadah mendapat ganjaran pahala dari Allah SWT.
Hidup itu penuh perjuangan dan ujian. Menikah itu berat, tetapi
dibalik yang berat itu banyak pula nikmat yang diperoleh, nikmat lahir
dan nikmat batin. Orang yang sudah menikah lancar saja rezekinya,
dimudahkan saja urusan dan rezekinya oleh Allah SWT.
Kadang rezeki itu
datang tidak disangka-sangka. Apalagi kalau sudah punya anak, semakin
deras saja rezeki mengalir dari-Nya untuk menghidupi si anak. Orang yang
mendapat rezeki seringkali mengatakan itu rezeki anaknya yang baru
lahir. Rahasia Allah tentang hidup memang misteri.
0 komentar:
Posting Komentar