Jangan Sampai Menyesal Karena Waktu..!!
AKHLAQ DALAM MEMELIHARA WAKTU
Dari Hasan Al-Bashri Radhiallahu ‘anhu diriwayatkan bahwa ia
berkata: “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu tidak lain hanyalah
perjalanan waktu; setiap kali waktu berlalu, berarti hilang sebagian
dirimu.” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ IV:585)
Diantara ungkapan Hasan lainnya: “Aku pernah bertemu dengan
orang-orang di mana masing-masing mereka lebih pelit dalam memelihara
umurnya daripada menjaga hartanya.” (“Syarhus Sunnah”, karya Al-Baghawi
XIV:225)
Termasuk juga ucapan Al-Hasan dalam menasihati para sahabatnya agar
mereka bersikap zuhud terhadap dunia dan menggairahkan mereka untuk
mengejar akherat, beliau berkata:
“Janganlah benda dunia fana yang
sedikit ini melenakan dirimu, demikian juga janganlah mengukur-ukur
dirimu. Semua itu akan berlalu dengan cepat mengikis umurmu. Kejarlah
ajalmu, jangan lagi katakan: “Besok dan besok.” karena kamu tidak pernah
tahu, kapan kamu akan kembali menemui Rabb-mu.” (“Hilyatul Awliyaa”
II:140)
Ar-Razi berkata: “aku pernah mendengar Ali bin Ahmad Al-Khawarizmi
menyatakan: “aku pernah mendengar Abdurrahman bin Abu Hatim berkata:
“Kami pernah berada di Mesir tujuh bulan dan tidak pernah makan sayur
(makanan berkuah). Pada setiap siang, kami berkumpul di majelis-majelis
para Syaikh. Dan pada malam harinya kami menyalin pelajaran dan
mendiktekannya kembali. Pada suatu hari, aku bersama teman dekatku
datang menemui seorang Syaikh. Namun orang-orang bilang: “Beliau sedang
sakit.’
Di tengah perjalanan, kami melihat ikan yang menarik. Kamipun
membelinya. Ketika kami tiba di rumah, tepat datang waktu belajar,
sehingga kami belum sempat membereskannya. Kamipun langsung berangkat ke
majelis.
Demikian terus waktu berlalu hingga tiga hari. Ikan itu tentu
saja sudah hampir busuk. Maka kamipun memakannya dalam keadaan mentah. Kami tidak sempat memberikannya kepada seseorang untuk dibakar.”
Kemudian beliau menyatakan: “Sesungguhnya ilmu itu tidak bisa diperoleh
dengan bersenang-senang.” (“Siyaru A’laamin Nubalaa’” XIII:266)
Abul Wafa Ali bin Abu Aqil menceritakan tentang dirinya sendiri:
“sesungguhnya aku tidak membiarkan diriku membuang-buang waktu meski
hanya satu jam dalam hidupku. Sampai-sampai apabila lidahku berhenti
berdzikir atau berdiskusi, pandangan mataku juga berhenti membaca,
segera aku mengaktifkan fikiranku kala beristirahat sambil berbaring.
Ketika aku bangkit, pasti sudah terlintas sesuatu yang akan kutulis. Dan
ternyata aku mendapati hasratku untuk belajar pada umur delapan
puluhan, lebih besar dari hasrat belajarku pada umur dua puluh tahun.”
(“Al-Muntazhim” karya Ibnul Jauzi IX:214 menukil dari buku “Sawanih Wa
Tawilat Fii Qimatinz Zaman” karya Khaldun Al-Ahdab hal.24)
Beliau juga berkata: “Dengan segala kesungguhan, aku juga memendekkan
waktu makanku, sampai-sampai aku lebih memilih memakan biskuit yang
dilarutkan dengan air dari pada memakan roti. Alasannya karena kedua
makanan tersebut berbeda ketika dikunyah. Yakni demi lebih memberi waktu
untuk membaca dan menyalin berbagai hal bermanfaat yang belum sempat
kuketahui.” (“Dzail Thabaqatil Hanabilah” I:177, menukil dari buku
“Sawanih Wa Ta-wilat Fii Qimatinz Zaman “34)
Semoga Allah merahmati seorang perdana mentri yang faqih semacam
Yahya bin Muhammad bin Hubairah – guru dari Ibnul Jauzi, ketika
menuturkan:
“Waktu akan semakin berharga bila dijaga dengan baik, tapi aku melihat waktu itu sesuatu yang paling mudah dilalaikan.” (“Dzail Thabaqatil Hanabilah” I:281, menukil dari buku “Sawanih Wa Ta-wilat Fii Qimatinz Zaman “39)
Tentang dirinya sendiri Ibnul Jauzi -Rahimahullah- pernah menuturkan:
“Saya telah melihat banyak orang yang berjalan-jalan bersama saya untuk
acara kunjung mengunjungi sebagaimana yang menjadi kebiasaan
masyarakat. Mereka menyebutkan kebiasaan itu sebagai “pelayanan”. Mereka
biasanya mencari tempat duduk (di kediaman seseorang) dan
memperbincangkan omongan orang yang tidak berguna. Kadang-kadang
semuanya itu diselingi dengan menggunjing orang lain.”
Kebiasaan semacam itu banyak dilakukan oleh anggota masyarakat di
jaman kita sekarang ini. Terkadang acara kunjung-mengunjungi itu menjadi
tuntutan yang digandrungi, seorang diripun pergi dipaksa-paksakan;
khususnya pada hari-hari raya dan ‘Ied. Kita bisa melihat mereka saling
tandang ke rumah temannya, tidak hanya mencukupkan diri dengan
mengucapkan selamat dan sejenisnya, tapi mereka menyelinginya dengan
membuang-buang waktu seperti yang telah saya paparkan.
Ketika kulihat bahwa waktu itu adalah sesuatu yang paling berharga,
sementara kewajiban kita adalah melakukan kebajikan, akupun tidak
menyukai kebiasaan itu. Sikapku terhadap mereka antara dua hal saja;
Kalau aku menyangkal mereka, akan terjadi kerusuhan yang bisa memecah
persahabatan.
Tapi kalau aku menerima ajakan mereka, aku akan
membuang-buang waktu. Akhirnya aku memilih berusaha menolak secara
halus, kalau gagal, aku ikuti mereka, namun aku tidak mau ngobrol
panjang agar cepat selesai pertemuannya.”
Kemudian aku menyiapkan berbagai aktifitas yang tidak menghalangi aku
untuk berbincang-bincang dengan mereka ketika bertemu muka, artinya
agar waktuku tidak terbuang sia-sia. Sehingga yang aku persiapkan
sebelum bertemu dengan mereka adalah memotong kaghid (kertas yang
disiapkan untuk menulis) dan meruncingkan pena serta menyiapkan
buku-buku tulis. Semuanya itu perangkat yang tidak boleh tertinggal.
Dan
untuk mempersiapkannya tidak terlalu membutuhkan fikiran dan
konsentrasi. Aku pun mempersiapkannya pada saat-saat terjadi pertemuan
dengan mereka agar waktuku tidak terbuang sia-sia.” (“Shaidul Khatir”
hal 184,185)
Wallahu Ta’ala A’lam
____________________________________________________________________
Sumber : Aina Nahnu Min Akhlaaqis Salaf, Abdul Azis bin Nashir
Al-Jalil Baha’uddien ‘Aqiel, Edisi Indonesia “Panduan Akhlak Salaf” alih
bahasa : Abu Umar Basyir Al-Medani
0 komentar:
Posting Komentar