Qana’ah Tanda Bahagia
Sifat qana’ah ibarat mutiara yang
terpendam di bawah laut. Barangsiapa yang bisa mengambilnya dan
memilikinya maka beruntunglah ia. Seorang istri yang memiliki sifat
Qana’ah ini maka dapat membawa ketentraman dan kedamaian dalam rumah
tangganya.
Sikap qana’ah atau menerima apa adanya (nrimo,
Bahasa Jawa) pada masalah kebendaan (duniawi) dalam kehidupan suami
istri sangat dibutuhkan. Terutama bagi seorang istri, tanpa adanya sifat
qana’ah maka bisa dibayangkan bagaimana susahnya seorang suami.
Setiap tiba di rumah maka yang terdengar adalah keluhan-keluhan, belum
punya ini belum punya itu, ingin beli perhiasan, pakaian baru, sepatu
baru, jilbab baru, perkakas rumah tangga, furnitur, dan lain-lainnya.
Akibat Tidak Qana’ah
Tak adanya qana’ah akan memicu
pertengkaran dan perselisihan serta melihat kedudukan suami dengan
sebelah mata karena gaji yang kecil. Terkadang keluar keluhan, bila si
fulan bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar mengapa engkau tidak
?! Sehingga impian membina rumah tangga yang samara semakin jauh.
Hati menjadi resah dan gundah lalu
hilanglah rasa syukur, baik kepada suami maupun kepada Allah. Bila hal
ini sudah menimpa pada seorang istri maka waspadalah,… Sesungguhnya
engkau telah membebani suamimu di luar kemampuannya. Engkau telah
membuatnya terlalu sibuk dengan dunia untuk memenuhi segala keinginanmu.
Berapa banyak kaum suami yang meninggalkan majelis ilmu syar’i, demi
mengejar uang lemburan?
Sebelum menikah, biasanya si fulan rajin
datang ke tempat majelis ilmu, namun setelah menikah jarang terlihat
lagi. Mungkin tadinya datang setiap pekan, sekarang frekuensinya menjadi
sebulan dua kali atau sekali bahkan mungkin tidak datang lagi! Atau
berapa banyak kaum suami yang rela menempuh jalan yang diharamkan Allah Ta’ala
demi membahagiakan sang istri tercinta melalui korupsi misalnya. Yang
terakhir ini banyak ditempuh oleh para suami yang minim sekali ilmu
agamanya sehingga demi “senyuman sang istri” rela ia menempuh jalan yang
dimurkai-Nya. Wal’iyyadzu billah.
Duhai para
istri…, engkau adalah sebaik-baik perhiasan di atas muka bumi ini bila
engkau memahami posisimu sebagai wanita. Maka jadilah wanita dan istri
yang shalihah. Itu semua bisa dicapai bila engkau mampu mengendalikan
hawa nafsumu, bergaul hanya dengan kawan-kawan yang shalihah dan
berilmu, dan tutuplah matamu bila engkau melihat sesuatu yang tidak
mungkin bisa engkau raih. Lihatlah ke bawah, masih banyak yang lebih
menderita dan lebih miskin hidupnya dibandingkan engkau. Maka akan kau
temui dirimu menjadi orang yang mudah mensyukuri nikmat-Nya.
Akankah Terlena Dengan Era Modern
Tak dapat dipungkiri saat ini kita hidup
dalam era modern yang lazim disebut era digital. Segala kebutuhan dan
kepentingan hajat hidup hampir semua dapat dikerjakan hanya dengan
menekan tombol. Masak nasi dengan Rice Cooker hanya sekali tekan tombol cooking
niscaya beberapa saat kemudian beraspun berubah menjadi nasi hangat
yang siap dinikmati bersama keluarga. Contoh sederhana di atas
menunjukkan bahwa kehidupan masa kini semakin canggih, teknologi
membantu memudahkan pekerjaan sehari-hari manusia.
Namun, akankah kehidupan yang serba
digital membuat kita semakin banyak keinginan? Jawabannya tergantung
dari kebutuhan dan kemampuan masing-masing individu. Di sinilah
tantangan kita dalam menjaga ketulusan hati untuk hidup secara bijaksana
dan menerima adanya walaupun godaan materi dan gaya glamor setiap saat
selalu menatap pandangan mata kita. Di saat yang sama, merupakan tugas
berat bagi kita untuk selalu menjaga hati agar tidak terkontaminasi
dengan virus-virus yang membahayakan tersebut.
Semestinya kita berusaha untuk diri dan
keluarga agar senantiasa menerima nikmat dan karunia yang telah
diberikan Allah dengan penuh rasa syukur baik syukur secara lisan maupun
perbuatan. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ibrahim/14:7,
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur maka Kami akan menambah nikmat
kepadamu, namun jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya
adzab-Ku sangat pedih.“
Orang beriman merasa senang dan puas
menerima rezeki yang telah dikaruniakan Allah kepadanya, serta merasa
bersyukur atas rezeki yang diterimanya. Makan dengan apa adanya akan
terasa nikmat tiada terhingga jika dilandasi dengan qana’ah dan
syukur. Sebab, pada saat seperti itu ia tidak pernah memikirkan apa yang
tidak ada di hadapannya. Justru, ia akan berusaha untuk membagi
kenikmatan yang diterimanya itu dengan keluarga, kerabat, teman atau pun
tetangganya.
Bukan Berarti Menerima Nasib
Namun hendaklah kita tidak salah pengertian tentang makna dan arti qana’ah, bukanlah qana’ah
merasa senang dengan segala kekurangan dan kehidupan yang rendah, lemah
semangat dan kemauan untuk mencapai cita-cita yang lebih tinggi, mati
keinginan untuk mencapai kemajuan secara moral dan material, atau
kelesuan untuk membebaskan diri dari kelaparan, kemiskinan dan
kesengsaraan. Meski demikian, orang-orang yang memiliki sikap qana’ah tidak berarti menerima nasib begitu saja tanpa ikhtiar. Orang yang hidup qana’ah bisa saja memiliki harta yang sangat banyak, namun bukan untuk menumpuk kekayaan.
Kekayaan dan dunia yang dimilikinya
dibatasi dengan rambu-rambu Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan demikian,
apapun yang dimilikinya tak pernah melalaikan dari mengingat Sang Maha
Pemberi Rezeki. Sebaliknya, kenikmatan yang ia dapatkan justru menambah
sikap qana’ah-nya dan mempertebal rasa syukurnya.
Iman memberikan kepada manusia kepuasan
akan apa yang diberikan Allah, dalam hal-hal yang tidak bisa kita
mengubahnya atau kesanggupan untuk mencapainya, biar dengan usaha dan
tipu daya manapun. Apalagi dalam masa kesusahan dan kesulitan yang
menimpa perorangan dan masyarakat, qana’ah memberikan pertolongan bagi ketentraman dan perdamaian dalam jiwa.
Jasa keimanan ini sangat besar dalam
membatasi jiwa manusia dari memperturutkan loba yang tidak berkesudahan,
tidak cukup dengan sedikit, tidak puas dengan yang banyak, tidak
memadai dengan yang halal dan wajar, sehingga senantiasa dalam keadaan
tidak puas, haus dan berkeluh kesah. Maka timbulah cara-cara pencarian
rezeki di luar batas hukum dan kemanusiaan, hanya berpedoman asal dapat,
tidak peduli bahaya bagi diri dan masyarakat. Naudzubillah min dzalik.
Qana’ah Obat Kemiskinan
Qana’ah adalah sikap paling tepat
untuk menunjukkan bahwa keterbatasan dalam harta benda bukanlah akhir
segalanya. Sikap mulia ini adalah modal yang dapat mengubah kata miskin
dari citranya yang hina, rendah dan tak bernilai, menjadi sebuah
kemuliaan yang hakiki, bernilai manfaat dan menguntungkan.
Hal ini tentu saja hanya bisa dilihat
dari kacamata iman, bukan dari cara pandang picik yang selalu
mengapresiasi kesuksesan dengan dasar material semata. Perhatikan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
“Sungguh bahagia orang yang berserah
diri (masuk Islam) dan diberi rezeki dengan pas-pasan lalu Allah
membuatnya bersikap qana’ah dengan apa yang telah Allah berikan
kepadanya.” (Riwayat Muslim)
Para ulama menjelaskan, qana’ah
adalah sikap merasa ridha dengan segala yang Allah karuniakan untuk
kehidupannya walaupun sedikit, dan bersungguh-sungguh menekan hawa nafsu
dan ambisi terhadap harta benda beserta segala kesenangan duniawi
lainnya.
Sikap qana’ah begitu berarti bagi
kehidupan manusia. Kesempitan rezeki yang dialami oleh sebagian orang
tentu suatu hal yang tidak diharapkan oleh siapapun. Rata-rata semua
orang menginginkan hidup dalam kecukupan, bahkan kaya raya. Kemiskinan
secara otomatis menjadi sebuah kesengsaraan karena ia berlawanan dengan
kehendak manusia pada umumnya.
Dalam kenyataan ini, sikap qana’ah dan
ridha adalah tindakan efektif untuk mengobati perasaan ini. Jika tidak,
keterbatasan harta yang disikapi dengan keliru, justru akan semakin
menambah daftar kesengsaraan dalam hidup.
Sebagaimana harta adalah ujian,
kekurangan harta juga ujian. Allah menguji manusia dengan kemiskinan dan
kekurangan, sejauh mana ia bisa bersikap dewasa, bijak, patriot dan
tetap mensyukuri hidupnya, apa adanya. Kemiskinan bisa menjadi ladang
kebaikan bagi orang yang sabar, atau lubang kesengsaraan berikutnya bagi
orang yang kufur.
Allah berfirman,
“Dan sungguh akan
Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah : 155)
Namun tentu saja qana’ah bukan berarti bersikap pasrah. Qana’ah
pun harus dimaknai dalam kerangka mensyukuri segala hasil yang
diperoleh setelah upaya dan kerja keras yang maksimal telah dilakukan.
Wallahu ‘alam bish-shawab.
(Majalah Sakinah Vol. 11, No. 1 | Jumadil Awal – Jumadil Akhir 1433)
0 komentar:
Posting Komentar