Senin, 06 Januari 2014

Seorang Nelayan Yang Saleh

Nelayan yang Sederhana

Ia dinasihati agar tak terlalu terikat dengan dunia.

Di negeri Tunisia, hiduplah seorang nelayan yang sangat saleh. Ia tinggal di gubuk sederhana di dekat laut yang terbuat dari tanah liat.

Setiap hari, ia berlayar untuk menangkap ikan. Seluruh hasil tangkapannya tersebut diserahkannya kepada orang-orang miskin. Ia pu hanya menyisakan sepotong kepala ikan untuknya sendiri.

Selain kesalihannya dan hidup bersahaja, ia juga jago dalam ilmu agama. Ia berguru kepada seorang ulama sufi terkemuka, Ibnu Arabi. Sang nelayan ini sangat rajin juga bijak.

Karena rajin belajar ilmu agama, ia pun didaulat menjadi seorang guru di wilayahnya. Muridnya pun banyak yang belajar dan kagum pada kesederhanaan serta sikap sang nelayan tersebut.

Suatu hari, salah seorang muridnya akan melakukan perjalanan ke Spanyol. Sang nelayan tersebut kemudian meminta sang murid untuk mengunjungi Ibnu Arabi. “Tolong mintakan nasihat dari beliau untukku, aku merasa buntu,” pesannya kepada sang murid.

Karena kepatuhannya kepada sang guru nelayan tersebut, sang murid ini pun menyempatkan mencari kediaman Ibnu Arabi dan berniat untuk menyampaikan pesan gurunya. Ia pun mencari-cari di mana rumah tinggal Ibnu Arabi. 

Ia pun bertanya kepada penduduk setempat, di manakah rumah tempat tinggal Ibnu Arabi. Orang-orang yang ia tanyai selalu menunjuk sebuah rumah mewah layaknya istana yang berdiri megah di atas bukit. “Itulah rumah Ibnu Arabi,” ujar mereka.

Sang murid pun sangat terkejut melihatnya. Ia kaget dengan perbedaan harta yang dimiliki oleh gurunya sendiri, sang nelayan sederhana, sedangkan gurunya hidup dalam kemewahan.

Ia masih tak yakin dengan petunjuk yang diberikan, kemudian ia bertanya kepada orang lain. Namun, jawaban yang diterimanya sama, mereka menunjuk rumah megah tersebut merupakan kediaman Ibnu Arabi. “Mengapa kehidupannya sangat duniawi sekali, sangat berbeda dengan guruku,” gumamnya.

Dengan perasaan gundah dan masih tak percaya, ia melangkahkan kakinya pelan-pelan menaiki bukit. Sepanjang perjalanan, ia menemui bukti kemakmuran sebuah daerah yang semuanya dimiliki Ibnu Arabi.

Ia selalu menanyakan siapakah pemilik ladang-ladang subur yang dilewatinya, kumpulan sapi, domba, kambing, serta jalanan yang bagus dan bersih ini. Jawabannya hanya satu, yang memiliki semua yang ia lihat tersebut adalah Ibnu Arabi.

Langkahnya terasa sangat berat karena pikirannya dipenuhi dengan kekalutan. Ia tak menyangka gurunya yang sangat sederhana itu, yang selalu mendermakan penghasilannya setiap hari, bisa kagum dan berguru pada orang yang materialistis seperti ini.

Akhirnya, langkah kakinya sampai di puncak bukit. Ia pun masuk ke rumah super mewah tersebut. Seumur hidupnya, ia belum pernah menyaksikan kemewahan seperti itu. Ia dipersilakan masuk oleh seorang pelayan, yang membenarkan bahwa rumah ini adalah rumah Ibnu Arabi, yang dicarinya.

Hingga tibalah sang guru sufi, Ibnu Arabi, itu pulang. Kepulangannya disongsong oleh arak-arakan pasukan pengawal kehormatan yang terdiri atas tentara khalifah, lengkap dengan perisai dan senjata menempel di tubuhnya. Mereka pun mengendarai kuda-kuda Arab yang gagah dan bersih.

Akhirnya, sang murid tersebut diberi kesempatan untuk bertemu dengan Ibnu Arabi. Ia pun semakin tercengang melihat pakaian yang dikenakan Ibnu Arabi yang terbuat dari sutra yang sangat indah dilengkapi dengan surban layaknya sultan.

Sang murid pun menyampaikan pesan dari gurunya dan memohon jawaban dari Ibnu Arabi.


Katakanlah kepada gurumu penyebab kebuntuan jiwanya adalah karena ia masih terlalu terikat pada dunia,” 

kata Ibnu Arabi memberikan jawaban. Sang murid pun sangat terkejut dan hampir tak percaya pada apa yang didengarnya.

Rasa kagumnya akan benda-benda mewah di hadapannya pun berubah menjadi geram saat mendengar apa pesan yang harus disampaikan kepada gurunya, sang nelayan sederhana tersebut.

Ia heran orang yang hidup glamor dan bermewah-mewahan mengapa menyarankan untuk menjauhi urusan duniawi kepada orang yang hidup dengan sangat sederhana? Ia merasa pesan ini tak pantas disampaikan kepada gurunya karena pasti akan menyakiti hatinya.

Sepulang ke kampung halamannya, sang guru nelayan tersebut dengan antusias menanyakan kepadanya, apakah ia berhasil bertemu dengan Ibnu Arabi dan menyampaikan pesannya.

Ragu-ragu sang murid menjawab bahwa ia telah bertemu dengan Ibnu Arabi. "”Apakah ia menitipkan kepadamu sebuah nasihat untukku?” tanya sang nelayan.

Sang murid pun enggan mengatakan nasihat yang menurutnya sangat tak pantas tersebut. Namun karena terus dibujuk, akhirnya pesan dari Ibnu Arabi itu terlontar jualah dari mulut sang murid.

Ia juga mengatakan alasan mengapa ia enggan menyampaikan pesan tersebut karena ia melihat Ibnu Arabi hidup bermandikan kemewahan, sangat berbeda dengan kehidupan sang guru nelayan tersebut.

Mendengar nasihat yang dititipkan tersebut, sang nelayan pun berurai air mata. “Ia benar,” jawab sang nelayan. “Ia benar-benar tak peduli dengan semua yang ada padanya. Sedangkan aku, setiap malam ketika aku menyantap kepala ikan, selalu aku berharap seandainya saja itu seekor ikan yang utuh,” ujar sang nelayan.

Meski setiap harinya ia memberikan sebagian besar hasil tangkapannya kepada orang-orang miskin di sekitarnya, sedangkan ia hanya makan secukupnya saja, ternyata membuat jiwanya tak tenang.

Karena dengan kesehariannya inilah berarti ia terlalu lekat dengan urusan duniawi, selalu menampakkan sedekah yang ia berikan, namun ia merasa kurang bersyukur dengan apa yang ia makan setiap harinya.

Dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 271, Allah berfirman, 

Jika kalian menampakkan sedekah kalian maka itu adalah baik sekali. Dan, jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir maka menyembunyikanya itu lebih baik bagi kalian. Dan, Allah akan menghapuskan dari kalian sebagian kesalahan-kesalahan kalian, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.”



0 komentar:

Posting Komentar